Ini Rekomendasi Prof.H.M.Tito Karnavian, MA, Ph.D, Terkait Penanganan Terorisme di Indonesia
Suara Bamega – Kapolri Jenderal Pol. H. Muhammad Tito Karnavian, MA, Ph.D, Kamis (26/10) pagi, dikukuhkan sebagai guru besar ilmu kepolisian, di auditorium Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) – Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Di hadapan senat guru besar dan civitas akademika STIK-PTIK, para pejabat utama Mabes Polri, seluruh Kapolda, dan para undangan yang hadir, Prof. H. Tito Karnavian, Ph.D, menyampaikan orasi ilmiah tentang “Peran Polri Dalam Penanganan Terorisme di Indonesia”.
Secara umum, menurut Tito, radikalisme dan terorisme di Indonesia saat ini sudah berkembang, namun keberadaannya masih dapat dideteksi dan dikendalikan. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak terkait hal tersebut yang mana hal ini dapat dilihat dari sudut pandang kurang menguntungkan atau “bad news” dan kondisi yang menguntungkan atau “good news”.
Tito menguraikan, kondisi yang kurang menguntungkan antara lain: musuh (pelaku teror) semakin pintar untuk menghindari deteksi Polri dengan mengggunakan aplikasi yang terenkripsi; menjadikan polisi dan kepentingan Barat sebagai sasaran; kemungkinan telah terbentuk jaringan teroris regional dan internasional; metode serangan semakin bervariasi menggunakan senjata tajam, panci bertekanan tinggi, bahkan unsur kimia untuk “dirty bombs”.
Setelah memaparkan secara komprehensif perkembangan terorisme di dunia serta ancaman terorisme di tanah air, Tito menyampaikan fakta di lapangan bahwa pencegahan tidak banyak disentuh oleh Densus 88, Satgas Bom Polri dan elemen Polri lainnya masih sangat terbatas melakukan kegiatan pencegahan. Upaya pencegahan dan rehabilitasi lebih bertumpu pada BNPT, itupun lebih banyak melakukan pendekatan kepada kelompok moderat dan radikal serta kampanye kepada masyarakat umum. Belum menyentuh jaringan terorisme sehingga hasilnya belum optimal.
Menurut Tito, mengingat peran Densus 88 anti teror begitu sentral dalam pemberantasan terorisme di Indonesia, maka Polri dengan dukungan pemerintah perlu terus melakukan penguatan terhadap Densus 88, dengan memperbesar jumlah kekuatan, meningkatkan eselon dan kepangkatan Kadensus 88, menambah jumlah Satuan Tugas Wilayah dan memperluas kegiatan dengan memasukkanaksi pencegahan. Penguatan ini juga dilakukan terhadap berbagai peralatan yang digunakan, peningkatan kapasitas (capacity building) dan anggaran operasional.
Begitu pula faktor regulasi (perundangan-undangan), dalam hal ini Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi dasar pijakan yuridis dalam melakukan penegakan hukum, masih menyisakan beragam kelemahan.
Dari aspek penindakan, kata Tito, juga masih ditemukan kelemahan khususnya terkait kemampuan satuan taktis untuk medan selain perkotaan (urban). Kurang maksimalnya pembangunan kemampuan untuk operasi di wilayah hutan dan gunung membuat beberapa operasi taktis belum berjalan optimal, seperti operasi penindakan pelatihan militer kelompok radikal di Aceh tahun 2010 dan operasi terhadap kelompok Santoso di Poso sejak 2012.
Kelemahan tersebut akibat mulai ditinggalkannya kemampuan Gerilya Anti Gerilya (counter insurgency operation) Brimob sejak 1998 sebagai respons tuntutan perubahan Polri menuju polisi sipil. Back-up dari satuan atas cenderung terlambat untuk mendukung satuan bawah dalam hal terjadi serangan di medan sulit dan terpencil seperti pegunungan Poso.
Absennya laboratorium forensik di beberapa wilayah, menurut Tito, juga menjadi kendala melaksanakan penyidikan secara ilmiah karena laboratorium forensik hanya ada di beberapa wilayah saja, seperti Jakarta, Makasar, Surabaya dan Medan. Akibatnya, proses pemeriksaan sampai menerima hasilnya memerlukan waktu relatif lama.
Tito menyatakan, negara harus melakukan “tekanan” yang kuat kepada para pelaku teror agar aksi-aksi terorisme dapat diakhiri. Penguatan tekanan negara bisa dilakukan dalam berbagai perwujudan baik melalui penguatan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan anggaran, modernisasi sarana prasarana dan regulasi yang mampu mengatasi persoalan terorisme. Hal ini relevan dengan argumen Cronin, yang merupakan hasil dari penelitiannya terhadap sejumlah kelompok teroris dan insurgen di dunia, saat menyatakan bahwa terorisme dan insurgensi dapat berakhir salah satunya adalah jika adanya tekanan negara yang sangat kuat.
Sebagian undangan yang hadir pada acara pengukuhan Tito Karnavian sebagai guru besar
Enam Rekomendasi
Pada bagian akhir orasi ilmiahnya, Tito Karnavian menyampaikan enam rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas peran Polri dalam menangani terorisme di Indonesia.
Pertama, pemahaman tentang insurgensi dan kontra insurgensi perlu diserap oleh semua perwira Polri, karena sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri sesuai dengan Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri berposisi sebagai garda terdepan dalam penanganan insurgensi dan terorisme di Indonesia.
Kedua, Polri perlu mengintensifkan pelibatan fungsi intelijen dan Bimmas di semua tingkatan untuk melaksanakan pendekatan, penggalangan dan deteksi dalam rangka tindakan pencegahan dan rehabilitasi insurgensi Islamis radikal. Untuk itu perlu diatur sistem anggaran khusus dalam sistem anggaran Polri guna mendukung upaya ini. Pelibatan satuan kewilayahan sangat penting mengingat luasnya jaringan teroris di banyak provinsi.
Ketiga, Polri perlu mendorong instansi terkait dan kompeten untuk merevisi aturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana terorisme agar lebih kuat dalam melindungi keamanan nasional, namun tanpa mengabaikan ditegakkannya supremasi hukum dan perlindungan HAM (equilibrium of crime control model and due process of law).
Keempat, Polri perlu mengembangkan kemampuan taktis Brimob Polri agar efektif dalam melaksanakan operasi penindakan di wilayah hutan dan gunung, dengan tetap berpijak pada kerangka operasi penegakan hukum. Kemampuan ini perlu juga dikembangkan untuk mendukung efektifitas operasi penindakan Polri di beberapa wilayah rawan kelompok bersenjata.
Kelima, intelijen, Bimmas dan Humas Polda yang di wilayahnya terdapat daerah rawan terorismeperlu diperkuat dengan dukungan personel, anggaran dan peralatan yang memadai untuk memaksimalkan upaya pendekatan lunak. Back-up dari Mabes Polri juga diperlukan, khususnya untuk kegiatan intelijen dan Binmas.
Keenam, Polri perlu mempunyai Pusat Pengkajian Radikalisme dan Terorisme yang dapat dijadikan salah satu kajian di STIK PTIK. Polri telah memiliki Laboratorium lapangan terkait radikalisme dan terorisme di Densus 88 sehingga akan lebih komprehensif apabila ditambah dengan kajian akademis di tingkat pendidikan tinggi.
Acara pengukuhan Tito Karnavian sebagai guru besar ilmu kepolisian, antara lain dihadiri Menko Polhukam Wiranto, Menko Maritim Luhut Panjaitan, Menristekdikti Moh. Nasir, Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, mantan Kapolri Prof. Dr. Awaloedin Djamin, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo, pengamat pertahanan dan keamanan Dr. Connie Rakahudini Bakrie, seluruh Kapolda, dan aktivis senior Bursah Zarnubi. Hadir juga istri Tito Karnavian, Ir. Tri Suswati beserta salah satu putranya.
Tito Karnavaian saat menyampaikan orasi ilmiah sebagai guru besar ilmu kepolisian, di auditorium STIK-PTIK, Jakarta, Kamis (26/10) pagi /Foto: BZ.
Di hadapan senat guru besar dan civitas akademika STIK-PTIK, para pejabat utama Mabes Polri, seluruh Kapolda, dan para undangan yang hadir, Prof. H. Tito Karnavian, Ph.D, menyampaikan orasi ilmiah tentang “Peran Polri Dalam Penanganan Terorisme di Indonesia”.
Secara umum, menurut Tito, radikalisme dan terorisme di Indonesia saat ini sudah berkembang, namun keberadaannya masih dapat dideteksi dan dikendalikan. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak terkait hal tersebut yang mana hal ini dapat dilihat dari sudut pandang kurang menguntungkan atau “bad news” dan kondisi yang menguntungkan atau “good news”.
Tito menguraikan, kondisi yang kurang menguntungkan antara lain: musuh (pelaku teror) semakin pintar untuk menghindari deteksi Polri dengan mengggunakan aplikasi yang terenkripsi; menjadikan polisi dan kepentingan Barat sebagai sasaran; kemungkinan telah terbentuk jaringan teroris regional dan internasional; metode serangan semakin bervariasi menggunakan senjata tajam, panci bertekanan tinggi, bahkan unsur kimia untuk “dirty bombs”.
Setelah memaparkan secara komprehensif perkembangan terorisme di dunia serta ancaman terorisme di tanah air, Tito menyampaikan fakta di lapangan bahwa pencegahan tidak banyak disentuh oleh Densus 88, Satgas Bom Polri dan elemen Polri lainnya masih sangat terbatas melakukan kegiatan pencegahan. Upaya pencegahan dan rehabilitasi lebih bertumpu pada BNPT, itupun lebih banyak melakukan pendekatan kepada kelompok moderat dan radikal serta kampanye kepada masyarakat umum. Belum menyentuh jaringan terorisme sehingga hasilnya belum optimal.
Menurut Tito, mengingat peran Densus 88 anti teror begitu sentral dalam pemberantasan terorisme di Indonesia, maka Polri dengan dukungan pemerintah perlu terus melakukan penguatan terhadap Densus 88, dengan memperbesar jumlah kekuatan, meningkatkan eselon dan kepangkatan Kadensus 88, menambah jumlah Satuan Tugas Wilayah dan memperluas kegiatan dengan memasukkanaksi pencegahan. Penguatan ini juga dilakukan terhadap berbagai peralatan yang digunakan, peningkatan kapasitas (capacity building) dan anggaran operasional.
Begitu pula faktor regulasi (perundangan-undangan), dalam hal ini Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi dasar pijakan yuridis dalam melakukan penegakan hukum, masih menyisakan beragam kelemahan.
Dari aspek penindakan, kata Tito, juga masih ditemukan kelemahan khususnya terkait kemampuan satuan taktis untuk medan selain perkotaan (urban). Kurang maksimalnya pembangunan kemampuan untuk operasi di wilayah hutan dan gunung membuat beberapa operasi taktis belum berjalan optimal, seperti operasi penindakan pelatihan militer kelompok radikal di Aceh tahun 2010 dan operasi terhadap kelompok Santoso di Poso sejak 2012.
Kelemahan tersebut akibat mulai ditinggalkannya kemampuan Gerilya Anti Gerilya (counter insurgency operation) Brimob sejak 1998 sebagai respons tuntutan perubahan Polri menuju polisi sipil. Back-up dari satuan atas cenderung terlambat untuk mendukung satuan bawah dalam hal terjadi serangan di medan sulit dan terpencil seperti pegunungan Poso.
Absennya laboratorium forensik di beberapa wilayah, menurut Tito, juga menjadi kendala melaksanakan penyidikan secara ilmiah karena laboratorium forensik hanya ada di beberapa wilayah saja, seperti Jakarta, Makasar, Surabaya dan Medan. Akibatnya, proses pemeriksaan sampai menerima hasilnya memerlukan waktu relatif lama.
Tito menyatakan, negara harus melakukan “tekanan” yang kuat kepada para pelaku teror agar aksi-aksi terorisme dapat diakhiri. Penguatan tekanan negara bisa dilakukan dalam berbagai perwujudan baik melalui penguatan kapasitas sumber daya manusia, peningkatan anggaran, modernisasi sarana prasarana dan regulasi yang mampu mengatasi persoalan terorisme. Hal ini relevan dengan argumen Cronin, yang merupakan hasil dari penelitiannya terhadap sejumlah kelompok teroris dan insurgen di dunia, saat menyatakan bahwa terorisme dan insurgensi dapat berakhir salah satunya adalah jika adanya tekanan negara yang sangat kuat.
Sebagian undangan yang hadir pada acara pengukuhan Tito Karnavian sebagai guru besar
Enam Rekomendasi
Pada bagian akhir orasi ilmiahnya, Tito Karnavian menyampaikan enam rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas peran Polri dalam menangani terorisme di Indonesia.
Pertama, pemahaman tentang insurgensi dan kontra insurgensi perlu diserap oleh semua perwira Polri, karena sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban masyarakat di dalam negeri sesuai dengan Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri berposisi sebagai garda terdepan dalam penanganan insurgensi dan terorisme di Indonesia.
Kedua, Polri perlu mengintensifkan pelibatan fungsi intelijen dan Bimmas di semua tingkatan untuk melaksanakan pendekatan, penggalangan dan deteksi dalam rangka tindakan pencegahan dan rehabilitasi insurgensi Islamis radikal. Untuk itu perlu diatur sistem anggaran khusus dalam sistem anggaran Polri guna mendukung upaya ini. Pelibatan satuan kewilayahan sangat penting mengingat luasnya jaringan teroris di banyak provinsi.
Ketiga, Polri perlu mendorong instansi terkait dan kompeten untuk merevisi aturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana terorisme agar lebih kuat dalam melindungi keamanan nasional, namun tanpa mengabaikan ditegakkannya supremasi hukum dan perlindungan HAM (equilibrium of crime control model and due process of law).
Keempat, Polri perlu mengembangkan kemampuan taktis Brimob Polri agar efektif dalam melaksanakan operasi penindakan di wilayah hutan dan gunung, dengan tetap berpijak pada kerangka operasi penegakan hukum. Kemampuan ini perlu juga dikembangkan untuk mendukung efektifitas operasi penindakan Polri di beberapa wilayah rawan kelompok bersenjata.
Kelima, intelijen, Bimmas dan Humas Polda yang di wilayahnya terdapat daerah rawan terorismeperlu diperkuat dengan dukungan personel, anggaran dan peralatan yang memadai untuk memaksimalkan upaya pendekatan lunak. Back-up dari Mabes Polri juga diperlukan, khususnya untuk kegiatan intelijen dan Binmas.
Keenam, Polri perlu mempunyai Pusat Pengkajian Radikalisme dan Terorisme yang dapat dijadikan salah satu kajian di STIK PTIK. Polri telah memiliki Laboratorium lapangan terkait radikalisme dan terorisme di Densus 88 sehingga akan lebih komprehensif apabila ditambah dengan kajian akademis di tingkat pendidikan tinggi.
Acara pengukuhan Tito Karnavian sebagai guru besar ilmu kepolisian, antara lain dihadiri Menko Polhukam Wiranto, Menko Maritim Luhut Panjaitan, Menristekdikti Moh. Nasir, Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, mantan Kapolri Prof. Dr. Awaloedin Djamin, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo, pengamat pertahanan dan keamanan Dr. Connie Rakahudini Bakrie, seluruh Kapolda, dan aktivis senior Bursah Zarnubi. Hadir juga istri Tito Karnavian, Ir. Tri Suswati beserta salah satu putranya.
Tito Karnavaian saat menyampaikan orasi ilmiah sebagai guru besar ilmu kepolisian, di auditorium STIK-PTIK, Jakarta, Kamis (26/10) pagi /Foto: BZ.
Sumber: Seruindonesia.com
Tidak ada komentar: