Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Manakib Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff-Garut


Suarabamega25.com - Penulis Sejarah dan Sastrawan Hebat Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf dilahirkan di kota Syihr pada tahun 1299 H (1882 M) ia merupakan seorang Ulama, Sastrawan, dan Pendidik terkemuka. Salah satu pendiri dan pengurus Organisasi Rabithah Alawiyah. wafat di tahun 1369 H (1950 M). Bentuk pengabdian dan sumbangan Habib Ahmad sangat beragam karena aktivitasnya juga beragam,lantas dimanakah letak pengabdian dan sumbangsih Habib Ahmad yang sangat beragam itu?


Dari uraian di atas, terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf? Kedua bagaimana perjuangan Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf dalam merintis dan Mengembangkan Organisasi Rabithah Alawiyah tahun 1928-1950? Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf dan untuk mengetahui perjuangan Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf dalam merintis dan Mengembangkan Organisasi Rabithah Alawiyah tahun 1928-1950.


Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf datang ke Nusantara pada tahun 1326 H (1908M) ke Indonesia untuk mengunjungi saudara tertuanya yaitu Sayid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf di pulau Bali dan menetap di Indonesia. Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf berniaga ke beberapa daerah yang ada di Indonesia yaitu: Surabaya, Solo, Yogya, Jawa, Jakarta untuk mensyi’arkan Islam juga mengadakan perbaikan-perbaikan kemajuan kaum Muslimin. 

Mungkin jarang sekali orang mengenal novel roman multientik abad XX ini, dan siapa itu Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf. Beliau adalah seorang Ulama, Sastrawan, dan Pendidik terkemuka yang lahir di Kota Syihr pada tahun 1299 H (1882 M), dan wafat tahun 1369 (1950 M). Tulisan-tulisannya dalam novel Gadis Garut sangat menarik, sehingga kita sebagai pembaca terbawa langsung dalam cerita yang terdapat dalam novel ini. 

Dari pengenalan tentang kota Garut pada saat itu, kisah cinta seorang perempuan berintelektual yang bernama Neng dalam mengejar takdir cintanya bernama Abdullah. Awalnya novel ini berjudul Fatat Garut dalam bahasa Arab, dan di cetak serta diterjemahkan oleh Ali Yahya, Psi dalam bahasa Indonesia sebanyak dua kali. Cetakan pertama itu di Solo 1929 M, dan cetakan kedua di Jakarta 1929 M.

Novel ini pernah memenangkan beberapa penghargaan pada masanya. Tetapi sebenarnya buku ini masih jarang sekali diketahui, karena di-era seperti ini orang-orang lebih mementingkan eksistensi si penulis dibandingkan karyanya. Dalam artikata orang-orang lebih tertarik dengan karya yang penulisnya sudah lama terkenal. Bagi kamu yang ingin mengetauhi lebih dalam mengenai kota Garut, dan kisah cinta sepasang insan antara Neng, dan Abdullah. Artikel Novel Gadis Garut ini bisa menjadi bahan referensi dalam membuat resensi  buku-buku lain.

Gadis Garut merupakan novel yang mengisahkan perjalanan cinta seorang pemuda keturunan Arab yang berintelektual tinggi. Pemuda Arab tersebut adalah Abdullah. Dalam kisahnya Abdullah bertemu dengan seorang wanita yang bernama Neng di kota Garut. Pada pandangan pertamanya saat berjumpa dengan Neng, Abdullah langsung jatuh cinta, karena sosok Neng begitu cantik dan pintar dalam berbicara. 

Tetapi perjalanan untuk memperjuangan cintanya ini tidak semudah yang dibayangkan, Abdullah harus melewati lika-liku peristiwa untuk bisa bertemu dengan Neng. Mulai dari Neng yang di jodohkan dengan pria berbangsa Eropa bernama Van Ridijk, Neng yang kabur dari rumah karena perjodohan orangtuanya, sampai-sampai Abdullah mengira bahwa Neng sudah tidak meninggal, dan masih banyak peristiwa-peristiwa yang disajikan dengan sangat apik sehingga kita sebagai pembaca bisa merasakan langsung apa yang dirasakan tokoh saat itu.

 Novel ini memiliki 20 judul yaitu; Garut, Pandangan Pertama, Teman Setia, Gadis Impian, Diam Itu Emas, Antara Ilmu dan Harta, Mendapat Informasi, Siasat Haji Mukhthi, Mendapat Kabar, Haji Mukhthi Terpedaya, Pengorbanan Cinta, Perjuangan Sitrun, Jodoh dan Mati Rahasia Allah, Di Kereta Api, Setelah Abdullah Pergi, Pertemuan dengan Paman, Perkawinan Semu, Harapan Telah Kembali, Perjumpaan yang Dinanti, Kebahagiaan yang Lengkap.

Gadis Garut mengajak pembaca supaya mau berpikir sekaligus merenung karena dalam tiap judul atau bab terdapat kejadian kejadian yang terjadi diwaktu yang sama tapi diceritakan dibab atau judul yang berbeda. Meskipun setting ceritanya dimasa abad XX, namun pembaca tetap dapat merasakan kisah ini karena menceritakan perjodohan, perkawinan, kesetiaan dan kejelekan sifat-sifat manusia.

Tokoh novel Gadis Garut yaitu Abdullah, Neng, Minah, Rusna, Rosidah, Haji Mukhthi, Van Ridijk, Sitrun, dan lain-lain. 

Setiap tokoh memiliki karakter masing-masing, baik protagonis maupun antagonis.

Dengan membaca karya ini, pembaca seolah diajak untuk terlibat secara langsung dalam perjalanan kisah cinta Abdullah dan Neng di abad XX.

Novel ini juga menyajikan keindahan-keindahan yang ada di kota Garut pada abad XX, dalam narasi si penulis kita tahu bagaimana keadaan Garut pada saat itu. Novel ini sangat humanis karena melihat manusia sebagai subjek dengan segala pembawaannya. Selain alur, penokohan, dan gaya bercerita yang apik, novel ini mengandung pesan moral yang tinggi.

Maka tidak heran jika novel Gadis Garut berhasil mendapatkan penghargaan . Saya sarankan untuk generasi sekarang yang sangat senang dengan novel yang bertemakan roman, harus membaca novel Gadis Garut ini, karena sudah sepatutnya kita sebagai generasi bangsa mengapresiasi karya bangsa sendiri.

Penulis Novel Fatat Garut ini adalah Habib Ahmad Assegaf. Ia adalah satu pakar nasab di Indonesia yang meletakkan dasar-dasar ilmu nasab adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff. Selain dikenal sebagai pakar ilmu nasab yang jempolan, ia juga dikenal wartawan, sastrawan dan guru bagi banyak orang.

Habib Ahmad dikenal sebagai wartawan, sejarawan, dan sastrawan keturunan Arab yang terkenal pada masa kemerdekaaan RI.

Sayid Ahmad bin Abdullah Assagaf, banyak menyerang pemerintah kolonial Belanda lewat tulisan-tulisannya. Untuk melengkapi data tulisannya itu, dia mendatangi berbagai tempat di Indonesia untuk bertemu dengan tokoh masyarakat, ulama, dan sejarawan.

Ia juga adalah salah satu pendiri pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah dan sekaligus menerbitkan majalah Arrabithah Al-Alawiyyah, majalah yang mengupas bidang keagamaan dan politik. Majalah Arrabithah Al-Alawiyyah dalam waktu yang tidak lama menjadi wadah bagi para penulis muda untuk menyampaikan pendapat mengenai keislaman dan politik, berperan sebagai sarana untuk menampik pengaruh orientalis barat di Indonesia.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff sendiri lahir pada tahun 1299 H (1879 M) di kota Syihr, Hadramaut. Ketika umurnya menginjak usia 4 tahun, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke kota Seiwun, saat itu terkenal sebagai kota ilmu yang menghasilkan banyak ulama besar dan shalihin. Di kota itu, ia mempelajari ilmu ushuludin, fiqh, tata bahasa, sastra dan tasawuf.

Tak puas menyerap ilmu di Seiwun, lantas ia pergi ke Tarim yang saat itu juga dikenal sebagai pusat para ulama besar. Hampair setiap hari, ia mendatangi majlis-majlis ilmu dan mengadakan hubungan yang akrab dengan guru-guru yang shalih, seperti Sayid Abdurahman bin Muhammad al-Masyhur, Syaikh Saleh, Syaikh Salim Bawazier, Syaikh Said bin Saad bin Nabhan, Sayyid Ubaidillah bin Muhsin Assegaff, Habib Ahmad bin Hasan Alattas, Habib Muhammad bin Salim As-Siri dan lain-lain.

Ustadz Ahmad Assegaff dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga ia sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu.

Tahun 1333 H (1913 M), ia berlayar ke Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudaranya yang tertua, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff di Pulau Bali. Ia tinggal di Pulau Dewata itu beberapa lama, sambil berguru sekaligus berdakwah di sana.

Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya, berjumpa dengan beberapa perintis pergerakan Islam serta para cendekiawan. Mereka sering terlibat diskusi membahas kebangkitan pergerakan keturunan Arab dan kaum muslimin di masa mendatang.

Habib Ahmad juga menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Pendiri NU yakni Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'.ari. saat menyusun Al-Qanunil Asasi (prinsip dasar) Jam’iyah Nahdlatul Ulama, satu-satunya tokoh yang masih hidup saat itu yang dikutip Hadratussyekh adalah Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf. Lengkapnya demikian:

قال السيد أحمد بن عبد الله السقاف رحمه الله تعالى: إنها الرابطة قد سطعت بشائرها واجتمعت دوائرها فأين تذهبون عنها أيها المعرضون كونو من السابقين أولا فمن اللاحقين وإياكم إن تكونوا من الخالفين فيناديكم لسان التفريع بقوارع “رَضُوا بِأَن يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ” التوبة ٨٧ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ الأعراف ٩٩

Sayid Ahmad bin Abdillah Assegaf berkata, “Jam’iyyah ini (NU) adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak, lalu ke mana kamu akan pergi? Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang pertama, kalau tidak orang-orang yang menyusul (masuk jam’iyyah ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan:

“Mereka (orang-orang munafiq itu) puas bahwa mereka ada bersama orang-orang yang ketinggalan (tidak masuk ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati mereka telah dikunci mati, maka mereka pun tidak bias mengerti.” (At-Taubah:17) “Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (Al A’raf:99).

Diketahui, Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf lahir pada 1299 H atau 1882 M di Syihr, Hadramaut—sebelas tahun lebih muda daripada Hadratussyekh yang lahir pada 1287 H atau 1871 M. Beliau pertama kali datang ke Nusantara pada 1326 H (1908 M) saat berusia 26 tahun mengunjungi Singapura dan ke Indonesia untuk mengunjungi saudara tertuanya, Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf, di Pulau Bali.

Bisa dipastikan, Hadratussyekh dan Sayid Ahmad ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan tokoh-tokoh pendiri HBNO, terutama Hadlrotusyaikh KH Hasyim Asy'ari. Di samping, Sayid Ahmad tentunya memiliki pengaruh yang cukup besar saat itu di Nusantara sehingga Hadratussyekh mencantumkan nama beliau di dalam Qanun Asasi NU.

Habib Ahmad saat itu terpilih menjadi direktur yang pertama dari Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Ia memimpin sekolah yang kebanyakan diikuti oleh warga keturunan arab itu dengan sangat bijaksana dan mulai saat itu namanya dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang pendidikan. Di kota Surabaya, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra.

Kemudian, ia pindah ke Solo dan tetap bersemangat mencari ilmu pengetahuan. Di kota batik inilah ia mempelajari ilmu psikologi dan manajemen sekolah, kebetulan ia juga menjadi salah pengurus sekolah swasta. Selain mengajar, ia juga berdagang sehingga ia sering pergi ke Jakarta untuk mengurus perniagaannya. Usaha dagang semakin maju. Itu membuat Habib Ahmad pindah ke Jakarta dan menjadi pimpinan sekolah Jami’at Kheir.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf dikenal sangat gemar mengadakan perjalanan ke berbagai negeri tetangga untuk menemui ulama-ulama dan mengadakan dialog dengan para cendekiawan, sehingga beliau sangat dikagumi oleh pusat-pusat ilmiah pada masa itu. 

Berbagai perubahan demi kemajuan dalam pendidikan mulai ia rintis, di antaranya dengan membuka kelas-kelas baru bagi para pelajar, menyusun tata tertib bagi pelajar, mengarang buku-buku sekolah serta lagu-lagu untuk sekolah.

Buku-buku pelajaran yang ia susun diantaranya terdiri dari buku-buku agama, sastra dan akhlaq. Keberhasilannya dalam memimpin sekolah dan menciptakan sistem pendidikan, mengundang perhatian yang luas dari pemerhati masalah pendidikan baik dalam maupun luar negeri, seperti dari Malaysia dan Kesultanan Gaiti di Mukalla. Intinya, mereka meminta Habib Ahmad untuk memimpin pengajaran sekolah di negeri mereka. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan halus, karena ia tengah merintis pembentukan Yayasan Arrabithah Al-Alawiyyah.

Melalui pergerakan Arrabithah Al-Alawiyyah pula, ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam memberikan petunjuk dan pentingnya persatuan di kalangan umat Islam dalam menghadapi penjajahan. Semua itu dapat dilihat dalam qasidah, syair serta nyanyian yang ia dikarang Habib Ahmad Assegaf.

Salah satu kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad adalah Kitab Khidmatul Asyirah. Kitab itu dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah. Dalam kitab ini Habib Ahmad menguraikan secara sistematis mengenai nasab dan pentingnya setiap orang memelihara kesucian nasabnya dengan ahlak yang mulia. Karena tidaklah mudah untuk menjaga nasab, sebagai ikatan penyambung keturunan serta asal-usul kembalinya keturunan seseorang kepada leluhurnya.

Dalam kitab ini, riwayat seseorang ia diteliti dengan seksama supaya terjaga kesucian nasabnya, dengan susunan yang tertib dari awal sampai akhir. Habib Ahmad bekerja keras untuk menyempurnakan isi buku ini walaupun ia mempunyai kesibukan yang luar biasa baik Rabithah Alawiyah maupun sebagai pengajar di Jami’at Kheir. Segala rintangan dihadapinya dengan penuh ketegaran dan semangat pantang mundur dengan satu tekad menyusun sejarah nasab Alawiyin merupakan pekerjaan yang sangat mulia.

Habib Ahmad, dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka serta para ulama yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah dan kitab ini pertama kali diterbitkan di Solo pada Rabiul Awal 1365 H.

Dari sekitar 20 buah bukunya, Ahmad bin Abdullah Assagaf sempat menulis sejarah Banten berjudul Al-Islam fi Banten (Islam di Banten). Karangannya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Fatat Garut (Gadis Garut) berupa roman kehidupan multietnik Indonesia di awal abad ke-20 oleh penerbit Lentera pada tahun 1997 dan diterjemahkan oleh Drs. Ali bin Yahya. Karya sastra ini sangat indah dan patut untuk dibaca karena banyak mengandung budaya bangsa dan syair-syair.

Karya-karyanya yang lain banyak disebarluaskan di madrasah-madrasah sebagai buku wajib pelajaran sekolah baik dalam mau pun di luar negeri. Diantaranya adalah cerita-cerita yang berisi masalah pendidikan seperti Dhahaya at-Tasahul, dan Ash-Shabr wa ats-Tsabat (berisi tentang cara hidup yang baik di dalam masyarakat untuk mencapai kemulian dunia dan akhirat), buku-buku pendidikan dan ilmu jiwa, Sejarah masuknya Islam di Indonesia dan lain-lain.

Keahlian Habib Ahmad didalam syair mendapat pengakuan dari banyak ahli syair di negara Arab. Selain itu Habib Ahmad juga punya keahlian di bidang kerajinan tangan dan elektronika dan pernah membuat sebuah alat musik yang dinamakan Alarangan.

Saat tentara Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menyerbu Hindia Belanda serta menyebabkan pertempuran yang sengit di Batavia menyebabkan Habib Ahmad pindah ke Solo. Setelah pertempuran mereda, Habib Ahmad kembali ke Jakarta dan mengajar di Kalibata.

Setelah 40 tahun menetap di Indonesia, pada 1950 ia berniat meninggalkan Indonesia menuju ke Hadramaut. Tepat pada ha ri Jumat, 22 Jumadil Awwal 1369 H ia berangkat dari Jakarta, dengan mempergunakan kapal laut dari pelabuhan Batavia. Namun Allah SWT telah menentukan umurnya, tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya.

Setelah diadakan upacara keagamaan seperlunya di atas kapal, pada hari Kamis, 28 Jumadil Awal 1369 H, jenazahnya kemudian dimakamkan di laut lepas, sebelum memasuki pelabuhan Medan. Yang sangat disayangkan, banyak karya Habib Ahmad yang belum sempat dibukukan juga ikut hilang dalam perjalanan itu.



Tidak ada komentar: