Prof. Dr. Mohammad Mahfud : Ilmu adalah Kunci Untuk Mencapai Segalanya
Suarabamega25.com - Kebijaksanaan selalu berasal dari ilmu yang mendalam, sesuai dengan filosofi hidup yang diterapkan oleh Nabi Sulaiman yang diajarkan oleh ayahnya ketika ia masih kecil. “Ketika dulu Nabi Sulaiman ditawari oleh Allah SWT untuk menjadi raja, memperoleh kekayaan, atau ilmu, beliau memilih ilmu”. “ (Moh Mahfud MD)
Mahfud lahir dari rahim Siti Khadidjah di sebuah desa di Kecamatan Omben, Sampang, Madura, 13 Mei 1957, dengan nama Mohammad Mahfud. Dengan nama itu, sang ayah, Mahmodin, berharap anak keempat dari tujuh bersaudara itu menjadi orang yang terjaga.
Ia dilahirkan ketika ayahnya bertugas sebagai pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Ketika Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin pindah ke Pamekasan, daerah asalnya. Di sana, di Kecamatan Waru, Mahfud menghabiskan masa kecilnya. Kala itu, surau dan madrasah diniyyah adalah tempat Mahfud belajar agama Islam. Ketika berumur tujuh tahun, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri. Sore harinya, ia belajar di Madrasah Ibtida’iyyah. Malam sampai pagi hari, ia belajar agama di surau. Mahfud lalu dikirim ke pondok pesantren Somber Lagah di Desa Tegangser Laok, untuk mendalami agama. Ketika itu ia masih kelas 5 SD. Sekolahnya pun ia lanjutkan di sana.
Pondok Pesantren Somber Lagah adalah pondok pesantren salaf yang diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kiyai keluaran Pondok Pesantren Temporejo atau Temporan. Pondok pesantren itu sekarang diberi nama Pondok Pesantren al-Mardhiyyah, memakai nama pendirinya, Kiai Mardhiyyan, yang wafat pertengahan 1980-an. Meski nilai ujiannya bagus, Mahfud tidak melanjutkan sekolah ke SMPN favorit. Orang tuanya memasukkan dia Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan.
Pada waktu itu, ternyata ada tiga murid yang namanya sama dengannya. Untuk membedakan, akhirnya Mahfud menambahkan inisial MD di belakang namanya. Tanpa sengaja, nama itu tertulis dalam ijazahnya. Kini, inisial menetap di belakang nama Mahfud seperti gelar akademik medical doctor, sebagaimana anggapan sebagian orang.
Sehabis menamatkan PGA selama empat tahun pada 1974, Mahfud terpilih untuk melanjutkan ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama di Yogyakarta yang merekrut lulusan terbaik dari PGA dan Madrasah Tsanawiyah seluruh Indonesia. Mantan Menteri Koperasi Zarkasih Noer, mantan Menteri Sekretaris Negara Djohan Effendi, tokoh Majelis Ulama Indonesia Amidhan, dan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar merupakan sebagian alumninya. Kini, PHIN diubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN).
Pada 1978, Mahfud tamat dari PHIN. Ia lalu meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pada saat yang sama ia juga kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Di Fakultas Hukum, Mahfud mengambil jurusan Hukum Tata Negara.
Padahal, ketika itu ayahnya sudah pensiun. Untuk membiayai dua kuliahnya, Mahfud aktif menulis di surat kabar umum seperti Kedaulatan Rakyat agar mendapat honorarium. Ia juga sibuk berburu beasiswa. Sebagai mahasiswa terbaik, Mahfud berhasil mengantongi beasiswa Rektor UII, beasiswa Yayasan Dharma Siswa Madura, juga beasiswa Yayasan Supersemar.
Mahfud mendapat beasiswa penuh dari UII untuk melanjutkan program pasca sarjana di UGM. Ketika itu, ia mengambil studi ilmu politik. Ia kembali mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar dan dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan S3. Ia kembali mendalami ilmu hukum tata negara ketika mengambil program doktor di UGM. Sejak SMP, Mahfud remaja tertarik menyaksikan ingar bingar kampanye pemilihan umum. Di situlah bibit-bibit kecintaannya pada politik terlihat. Semasa kuliah, kecintaannya pada politik semakin membuncah. Ia lalu malang melintang di berbagai organisasi kemahasiswaan intrauniversitas seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan pers mahasiswa.
Mahfud juga aktif di organisasi ekstra universitas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII. Sebab, saat itu untuk bisa menjadi pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel aktivis HMI. Sekalipun begitu, dari sejumlah organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni. Ia pernah menjadi pimpinan di majalah mahasiswa Fakultas Hukum UII, Keadilan. Demikian pula majalah mahasiswa UII, Muhibbah. Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, majalah Muhibbah yang dipimpinnya dibreidel sampai dua kali. Pertama, dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo pada 1978. Terakhir, dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada 1983.
Lulus dari Fakultas Hukum pada 1983 Mahfud bekerja sebagai dosen di almamaternya dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketika itu ia melihat, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum. Kekecewaannya pada hukum yang selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik menyebabkan Mahfud ingin belajar ilmu politik.
Kesempatan itu ia ambil ketika kuliah S2. Ia banyak berdiskusi dengan dosen-dosen ilmu politik ternama seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, Amien Rais, dan lain-lain.
Keputusannya mengambil ilmu politik yang berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara bukan tanpa konsekuensi. Sebab, studi lanjut di luar bidangnya seperti itu tidak akan dihitung dalam jenjang kepangkatannya sebagai dosen. Karena itu, selepas lulus S-2, ia melanjutkan pendidikan doktor (S-3) bidang Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM hingga lulus pada 1993.
Disertasi doktornya tentang politik hukum cukup fenomenal. Hasil penelitiannya menjadi bahan bacaan pokok program pascasarjana bidang ketatanegaraan di berbagai perguruan tinggi, karena pendekatannya mengkombinasikan dua bidang ilmu, yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Dalam sejarah pendidikan doktor di UGM, Mahfud tercatat sebagai mahasiswa doktoral yang lulus cepat. Ia menyelesaikan pendidikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Padahal, ketika itu (1993) rata-rata pendidikan doktor diselesaikan selama 5 tahun. Kata Mahfud, semua itu berkat ketekunan dan dukungan dari para promotornya, Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar.
Ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud ke Columbia University New York dan Northern Illinois University DeKalb, Amerika Serikat, untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun. Di New York, ia berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII, yang kini menjadi hakim agung. Sedangkan di Illinois, ia bertemu dengan Andi A. Mallarangeng, kini Menteri Pemuda dan Olah Raga Kabinet Indonesia Bersatu II. Ketika itu, Andi menjadi Ketua Perhimpunan Muslim, sehingga Mahfud diberi satu kamar di sebuah rumah yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara.
Mahfud tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih doktor pada 1993. Dari jabatan asisten ahli, ia melompat menjadi lektor madya, mendahului dosen dan senior-seniornya di sana. Bahkan, tidak sedikit dari dosen dan seniornya itu yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbing ketika menempuh pendidikan pasca sarjana.
Dengan karya tulis yang tersebar berupa buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, tak sulit bagi Mahfud untuk meraih gelar akademik tertinggi. Ia pun dikukuhkan sebagai guru besar, 12 tahun sejak ia mengabdi sebagai dosen UII.
Dengan usia 41 tahun, ia tergolong sebagai guru besar termuda pada masanya bersama Yusril Ihza Mahendra. Wajar saja, jika dengan kapasitasnya itu ia dipercaya mengajar di 20 perguruan tinggi, termasuk penguji eksternal disertasi doktor untuk hukum tata negara di University of Malaya, Kuala Lumpur.
Menjadi hakim konstitusi, bagi Mahfud, merupakan panggilan hati sebagai ahli hukum tata negara. Selain itu, ia tertarik dengan perkembangan MK.
Di luar itu, ia diajak oleh mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, yang sama-sama Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara, untuk berjuang di MK. Bagi Mahfud, kredibilitas MK sebagai lembaga tidak diragukan lagi. Meski ada dua lembaga lain yang juga bagus dan bersih, yaitu Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi, MK masih steril dari sandungan kasus hukum.
Mahfud tidak memasang target sebagai hakim konstitusi. Ia akan bekerja mengalir sesuai kewenangan yang diberikan. Sebab, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan birokrasi lain seperti menteri.
Sebagai menteri, ia harus kreatif dan mendinamiskan banyak program. Sedangkan menjadi hakim konstitusi justru tidak boleh banyak program. Alasannya, banyak program malah akan berpotensi melanggar kewenangannya.
Mantan Menteri Pertahanan ini meyakini bahwa kebijaksanaan selalu berasal dari ilmu yang mendalam, sesuai dengan filosofi hidup yang diterapkan oleh Nabi Sulaiman yang diajarkan oleh ayahnya ketika ia masih kecil. “Ketika dulu Nabi Sulaiman ditawari oleh Allah SWT untuk menjadi raja, memperoleh kekayaan, atau ilmu, beliau memilih ilmu.
Karena dengan ilmu, ia mencapai kedudukan sebagai raja dan juga memperoleh kekayaan. Bahkan, beliau memperoleh Ratu Balqis, perempuan tercantik. Oleh karena itu, saya selalu didorong untuk mencari ilmu, dan saya juga mewariskannya kepada anak-anak saya. Semua akan mengejar ilmu jika mereka memiliki pengetahuan,” ungkap Mahfud pada suatu waktu.
Pesan dari ayahnya mendorong Mahfud untuk selalu belajar di mana pun dan kapan pun. Ia tidak hanya memperdalam ilmu hukum, tetapi juga menggeluti ilmu politik dan agama.
“Saya yakin bahwa ilmu adalah kunci untuk mencapai segalanya. Ibu saya mengajarkan kesabaran dan pengorbanan, ia bahkan menjual perhiasannya untuk membiayai pendidikan saya. Ayah saya, seorang polisi dengan gaji kecil, membesarkan tujuh anak, dan saya adalah anak keempat,” kata Mahfud dengan nada terharu saat mengingat pengorbanan ibunya.
Keteguhan Mahfud dalam menjunjung kebenaran adalah hasil dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtuanya. Ada pula dorongan kuat yang datang dari ulama-ulama yang dekat dengannya.
Mahfud merupakan alumni Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia tahun 1983. “Selamat bergabung di UII, saya ada di Universitas Islam Indonesia sejak tahun 1978 sampai sekarang. UII ini adalah anak kandung Republik Indonesia, ini adalah universitas nasional tertua di Indonesia,” ungkapnya bangga.
Prof. Mahfud MD menyampaikan dasar-dasar pengembangan ilmu di Universitas Islam dalam kaitannya dengan kebangsaan. Menurutnya zaman sekarang nilai-nilai keagamaan, kerohanian tidak lagi banyak dipergunakan di dunia barat, di ilmu kedokteran, melainkan berpindah ke ilmu Psikologi.
“Karena di dunia barat itu ada reformasi yang kemudian sekularisasi bahwa yang dikatakan ilmu adalah ilmu yang masuk akal, bisa diverifikasi, bisa diuji,” ungkapnya.
Kecelakaan ilmu yang berkembang tanpa nilai inilah yang menyebabkan pecahnya perang dunia pertama dan kedua sehingga setelah perang dunia kedua, ilmu-ilmu yang dulu sempat tidak dimunculkan, dimunculkan lagi.
Menurut Prof. Mahfud MD, ilmu itu untuk memanusiakan. “Filsafat keilmuan kita ada filsafat yang dipenuhi dan diwarnai oleh nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai keimanan. Apapun agama yang Anda peluk, sadarilah ilmu itu dengan nilai-nilai kemanusian, bimbingan kerohanian, dan kasih sayang sesama manusia,” pesannya.
Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa terdapat dua pilar nilai atau prinsip pengembangan ilmu pengetahuan menurut Islam. Pertama, agama dan ilmu pengetahuan bukan dua hal yang terpisah, melainkan satu paket yang terintegrasi. Kedua, ilmu pengetahuan di dalam Islam, menerima sepenuhnya wawasan rasional tetapi menolak rasionalisme.
Kemudian, ia menegaskan bahwa di UII menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, memberikan kasih sayang kepada seluruh penghuni alam. “Maka dari itu, Saudara harus bisa melakukan kerja sama antar kemanusiaan,” ungkapnya.
“Mari jaga Indonesia ini, dengan ruh Islam wasathiyah, Islam rahmatan lil ‘alamin yang membangun kedamaian untuk sesama manusia bukan hanya untuk sesama pemeluk agama, selamat belajar, nyamanlah di kampus UII,” tutup Guru Besar, Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. ( Aji)
Tidak ada komentar: