Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Pilih Politik,"Umpat Nang Manang" Oleh: Noorhalis Majid


Suarabamega25.com - Kenapa survei-survei politik pemenangan yang palsu, bohong, dan bahkan hoax, sering sekali disebarkan di media sosial? Karena “perekayasa politik” tahu, kecendrungan pemilih lebih suka ikut yang menang. 

Anggapannya, dari pada memilih calon yang jelas-jelas kalah, lebih baik yang pasti menang. Akibatnya, berlomba-lombalah merekayasa survei yang menggambarkan pemenangan dari calon yang diusungnya.

Bisa dilihat, kecendrungan survei internal, menggambarkan kemenangan dari calon mereka. Ketika semua survei internal memperlihatkan kemenangan calonnya masing-masing, muncul pertanyaan, survei manakah yang benar?

Apalagi terhadap survei eksternal dari lembaga independent. Bila calon tertentu dinyatakan unggul, maka kelompok dan simpatisan dari calon bersangkutan, akan mempublikasikan hasil tersebut secara luas, agar warga terpengaruh “umpat nang manang”.

Kebudayaan Banjar memperkuat asumsi ini dengan ungkapan “umpat urang banyak”. Dan gambaran orang banyak itu, terlihat dari hasil survei, walau pun surveinya bisa saja palsu. 

Apa dampak atas kecendrungan itu? Pemilih menjadi pragmatis, tidak lagi melihat keunggulan visi, misi, program dan jejak rekam dari sang calon. Bahkan bisa saja pupus harapan untuk tegar memperjuangkan calon yang lebih baik, idealis dan memiliki integritas. Seolah tidak ada gunanya – percuma. Dan akhirnya, agar suaranya memiliki arti, lebih baik ikut yang menang saja.

Tim pemenangan pun tidak ragu mematahkan harapan, dengan menyatakan “percuma”, “sia-sia”, “tidak ada gunanya”, lebih baik memilih yang nyata-nyata saja. Apalagi bila yang dianggap “nyata” tersebut, juga nyata menyertakan kompensasi uang.

Ketahuilah, ini bagian dari psikologi masa yang sangat purba, memanfaatkan kelemahan warga yang tidak mengerti politik, dengan tingkat pendidikan yang juga rendah. Mengira pilihannya tepat, padahal tergiring rekayasa yang belum tentu benar, bahkan bisa saja bohong dan hoax. Merasa hebat karena “umpat nang manang”. (nm)

Tidak ada komentar: