Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Pilkada,"Oligarki Mambanjur Kacak Darau"Oleh: Noorhalis Majid


Suarabamega25.com - Bagaimana kalau semua calon peserta Pilkada meminta restu kepada oligarki, mungkinkah semua direstui, semua difasilitasi? 

Jawabnya tentu sangat mungkin. Bahkan, boleh jadi itulah yang dikehendaki. Sehingga siapapun yang menang, semua di bawah ketiak oligarki – yang tunduk dan patuh pada keinginannya.

Kenapa asumsinya demikian, karena kebudayaan Banjar mengajarkan fenomena itu. Bukankah ada yang suka “membanjur”, memasang umpan di banyak tempat, sehingga peluang dan kesempatan mendapatkan perolehan akan lebih besar. Kalau hanya memasang umpan pada satu titik, peluangnya hanya satu bagiannya tersebut, bagian lainnya bukan menjadi peluang.

Kebudayaan Banjar juga mengenalkan istilah “kacak darau”, yang berarti menang banyak, karena berani berspekulasi bertarung pada semua celah peluang yang tersedia. 

Jadi, mana kala semuanya meminta restu pada oligarki, dan yang bersangkutan merestui, mendukung, memfasilitasi semuanya. Hadir berperan serta pada semua potensi peluang, maka yang berpeluang menang banyak bukanlah rakyat, tapi oligarki yang bersangkutan.

Kalau kondisinya demikian, pada akhirnya, Pilkada tidak ubahnya permainan. Layaknya main game, yang para pesertanya satu sama lain “bermain mata”, di bawah skenario dalang yang mampu menarik ulur permainan agar tetap menyenangkan.

Begitulah hebatnya oligarki, membeli semua kemerdekaan warga, hingga tidak punya daya tawar lagi menentukan pemimpinnya. Terikut permainan yang sudah diciptakan, meligitimasi realita semu, karena semua sudah memenuhi prosedur formil yang sekedarnya. 

Bila tidak ada calon alternatif yang benar-benar menawarkan “alternatif”, maka sebagus dan seapik apapun penyelenggaraan Pilkada. Sebagus dan seketat apapun pengawasan, sudah tidak penting - sudah tidak perlu. Pemenangnya tetaplah sang oligarki yang orientasinya hanya untuk kesejahtraan diri dan kelompoknya, bukan untuk membangun kesejahtraan bersama.

Pertanyaan paling mendasar, dimana para cerdik pandai? apakah ikut tunduk, manut dan patuh pada skenario? (nm)

Tidak ada komentar: