Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

1 Abad NU Membangun Peradaban Mulia



Suarabamega25.com - Makna dari istilah membangun Peradaban Mulia adalah muara akhir dari tema besar se Abad NU , merawat jagad membangun peradaban. Peradaban besar yang mulia sebagaimana peradaban Islam masa lalu, mencoba digagas ulang, menjadi narasi besar di masa depan. Ini terkait erat dengan akal budi dan kemampuan manusia melakukan kreativitas sehingga menghadirkan kemanfaatan, kemajuan, dan pencerahan yang selalu eksis di setiap ruang dan waktu. Tema Peradaban telah menjadi perhatian Alquran sejak wahyu pertama hingga wahyu terakhir.

Untuk melahirkan peradaban terbaik, Alquran ditambah Sunnah Nabi menekankan pengelolaan holistik tiga unsur dalam diri manusia.

Tiga unsur tersebut adalah ruhani/spiritual, fisik/jasmani, dan aqliyah/keilmuan. Jika ketiganya dapat digarap dengan baik, maka yang lahir adalah sifat saleh (membawa perbaikan). Sedangkan jika hanya mengandalkan satu unsur saja maka yang lahir adalah sifat fujur hingga fasad (membawa kerusakan).

Jadi kalau kita riset saat Nabi Muhammad Saw, menerima wahyu dari periode awal sampai puncaknya saat Nabi berusia 63 tahun dalam periode 23 tahun itu, semua wahyu yang turun dari Alquran semuanya menyinergikan tiga bagian ini.

Sebagai hasilnya, masyarakat Arab yang saat itu disebut sebagai kaum jahiliyah pada akhirnya mampu berubah menjadi umat terbaik dengan peradaban yang dipuji oleh Allah Swt sebagaimana dalam Surat Ali Imran ayat ke-110 tentang ‘khairu ummah’.

Jika tiga bagian ini bisa dioptimalkan dengan maksimal, maka di manapun manusia itu berada, maka terwujudlah manusia paripurna, yang seutuhnya dan mampu mengkreasikan apapun di ruang dan waktu dengan kemanfaatan yang dibutuhkan oleh manusia di tempat mereka berada.

Sebelum Nabi (Saw) hijrah, kota yang dituju itu dikenal dengan nama Yatsrib. Ketika Rasulullah (Saw) tiba di kota itu, beliau mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Secara bahasa, Madinah artinya adalah kota. Tapi dari akar kata itu juga lahir kata tamaddun, yang artinya adalah peradaban.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah kota mestinya menjadi tempat orang-orang yang beradab. Dari mulai hati, pemikiran, akhlak dan karya-karya manusia di dalamnya, mestilah menujukan peradaban yang tinggi.

Membangun Masjid

Selain mengubah Yatsrib menjadi Madinah, maka hal lain yang Rasulullah (Saw) lakukan adalah membangun masjid. Pembangunan masjid ini merupakan pertanda bahwa peradaban Islam tidak lepas dari ruku’ dan sujud ummat Islam kepada Allah azza wa jalla. Tentu ruku’ dan sujud yang dimaksudkan di sini adalah ketaatan penuh kepada Allah Ta’ala. 

Dengan pembangunan masjid ini pula Nabi Muhammad (Saw) ingin menyampaikan pesan, bahwa mewujudkan peradaban Islam itu bagi Muslim adalah tonggak ubudiyah bentuk pengabdian dan penghambaan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Dibangunnya masjid sejak awal perjalanan dalam membangun peradaban menunjukan bahwa peradaban dalam Islam tidak ditandai oleh gedung-gedung pencakar langit. Tidak pula oleh jumlah uang di pusat bisnis dan perbankan. Tetapi peradaban Islam tidak bisa terlepas dari hubungan nilai-nilai ketuhanan.

Peradaban inilah yang didambakan oleh semua manusia yang normal. Manusia menginginkan kebahagiaan (sa’adah) dan bukan sekedar kesenangan (mataa’). Nilai-nilai ketuhanan itulah yang akan membawa kesenangan kepada kebahagiaan. Tanpa nilai samawi, maka kesenangan akan hampa dan jauh dari kebahagiaan.

Kemandirian Ekonomi Ummat

Pada tahun kedua setelah hijrahnya Rasulullah (Saw), turunlah perintah berzakat. Dalam menyikapi perintah zakat ini, Rasulullah (Saw) tidak saja memahaminya sekedar perintah mengeluarkan harta. Tetapi dipahami dengan visi yang lebih besar, yaitu membangun kekuatan ekonomi bagi ummat.

Untuk merealisasikan hal tersebut, maka Nabi (Saw) melakukan beberapa hal, antara lain: Mengajak para Sahabat untuk membeli sebuah sumur. Perlu diketahui bahwa pada saat Nabi (Saw) hijrah, di Madinah saat itu hanya ada satu sumur. Dan sumur itu milik orang Yahudi. Sumur saat itu sangat vital dalam kemandirian masyarakat muslim. Atas anjuran Rasulullah (Saw), sumur tersebut dibeli oleh sahabat Utsman bin Affan (ra)

Menguasai pasar.

Saat itu orang-orang Yahudi memiliki kelebihan dalam bisnis dan keuangan. Maka Nabi (Saw) memotivasi para sahabat yang sekiranya memiliki modal dan kemampuan bisnis untuk menguasai pasar. Penjelasan tentang urgensi agar ummat memiliki pasar sebagai pusat penguatan perekonomian ummat ini disambut baik oleh Abdurrahman bin Auf dan lainnya.

Dengan demikian, memperingati se Abad NU seharusnya menyadarkan kita akan tanggung jawab bersama (mas-uliyah jama’iyyah) untuk membangun kembali peradaban mulia yang pernah diletakan pondasi-pondasinya oleh para pendahulu kita.

Mabadi Khairu Ummah

Islam tidak mengajak kita ke kanan jadi kapitalisme, tidak juga ke kiri, komunis. Islam adalah jalan tengah, jalan baru bisa jadi jalan ketiga atas kebuntuan global. The third way, jalan ketiga yang digagas Antoni Gidens adalah sebuah jalan alternatif. Tentu the third way berbeda dengan konsep negara welfare state yang ada di Inggris (Eropa). Konsep Islam mewujudkan sebuah jalan baldatun thoyyibatun warobun ghofur Hampir satu abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Agenda-agenda besar NU tentunya menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.

Para ulama pesantren pendiri NU mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural: menjaga, melestarikan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tengah-tengah kondisi dan dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah Waljamaah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta. Hubungan tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar.

NU berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah. Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat.  Sejak berdiri pada 1926, NU menempatkan kepentingan masyarakat Islam sebagai orientasi besar gerakannya. Cita-cita tersebut secara sistematik terformulasikan dalam mabadi’ khaira ummah.

 Secara etimologi, mabadi’ khaira ummah terdiri dari tiga kata bahasa Arab. Pertama, mabadi’ yang artinya landasan, dasar, dan prinsip. Kedua, khaira yang artinya terbaik, ideal. Ketiga, ummah yang artinya masyarakat, dan rakyat. Sedangkan secara epistemologi, mabadi’ khaira ummah adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman, “jadilah engkau sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. Dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110) [PP LTN NU, 1992: 77]

Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah) sebenarnya telah diupayakan sejak tahun 1935. Pada saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-wafa’ bi al-‘ahd (komitmen) dan al-ta’awun (komunikatif dan solutif). Tiga prinsip dasar itu kemudian disebut mabadi’ khaira ummah dan menjadi program kerja organisasi.

Perkembangan zaman yang cukup pesat memaksa para ulama untuk melakukan evaluasi kerja. Pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tanggal 21—25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk melakukan penyempurnaan terhadap tiga butir mabadi’ khaira ummah dengan menambah prinsip al-istiqamah (kontinuitas/konsistensi) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan). NU berkeyakinan bahwa lima prinsip tersebut merupakan langkah alternatif dan prospektif bagi upaya mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik di Indonesia.

Prinsip mabadi’ khaira ummah di atas merupakan metodologi khas ulama pesantren. Hal ini tentu bagian dari watak otentik NU yang selalu dipandang mempunyai irama dan tempo perubahan sendiri.

Mabadi khaira ummah merupakan jalan panjang bagi terwujudnya obsesi warga Nahdliyyin untuk menjadi umat terbaik (khaira ummah) yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga Nahdliyyin dapat mewarnai dan menjadi acuan seluruh masyarakat bagi terbentuknya tatanan khaira ummah, atau dalam konteks kekinian dikenal dengan istilah masyarakat madani. (PP LP Ma’arif NU, 2004: 66)

Dalam tataran implementasi, mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana dimaklumi, istilah amar ma’ruf nahi munkar pertama kali diperkenalkan Al-Quran dalam surah Al-A’raf ayat 157. “Memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang jelek-jelek.”

Artinya, konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi’ khaira ummah sebagai sebuah karakter kaum Nahdliyin. Sehingga terbentuknya masyarakat madani (khaira ummah) sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kaum Nahdliyin mampu mengimplementasikan amar ma’ruf nahi munkar. Maka komunitas yang termasuk dalam klasifikasi khaira ummah adalah kelompok yang mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar di samping juga sifat-sifat yang lain.

Sebaliknya upaya amar ma’ruf nahi munkar secara benar akan dapat mewujudkan masyarakat madani. (Aji S)

Tidak ada komentar: