Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah Al-Habsyi Penggerak Majelis Taklim di Tanah Betawi


Suarabamega25.com - Habib Ali bin Abdurahman bin Abdullah Al - Habsyia beliua dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah air

Setiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta, saja namun juga dari Depok, Bogor Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang.

Habib Ali adalah keturunan Rasululullah yang memiliki nasab sebagai berikut: al-Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi Shahib Syi’ib bin Muhammad bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.

Jamaahnya makin hari makin bertambah banyak. Begitu pula dengan peringatan Maulid. Jamaah yang hadir setiap tahun bertambah banyak. Bak lautan manusia, mereka memadati setiap ruas jalan yang berada di sekitar kawasan Masjid Kwitang, Jakarta. Mereka seperti tersedot oleh pesona Simthud Durar.

Majelis taklim Habib Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim. Karena selalu dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda. “Orang-orang Betawi sendiri baru menggelar majelis taklim setelah Habib Ali wafat. Sebelumnya tidak ada yang berani,” kenang K.H. Abdul Rasyid.

Maka, untuk mengenang jasa-jasa Habib Ali, tiga majelis taklim tersebut selalu membuka pengajian dengan membaca Surah Al-Fatihah, untuk dihadiahkan kepada almarhum.

Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah, ataupun fitnah. Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi ahlulbait, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.

Menurut K.H. Abdul Rasyid, banyak ulama Jakarta yang menjadi murid almarhum. Mereka belajar di Madrasah Unwanul Falah di Kwitang yang didirikan tahun 1920, sebagai madrasah modern pertama bersama Jam’iyyatul Khair. Sementara itu, oleh Habib Abdul Rahman, cucu almarhum, madrasah yang telah ditutup saat revolusi fisik dahulu sudah dibuka kembali. “Tanah yang dulu jadi tempat madrasah yang didirikan kakek saya sudah dibebaskan. Sekarang tinggal membangun kembali,” kata Habib Abdul Rahman.

Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan agar umat senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah Islamiah, dan meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW. Ia juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi lahir pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 atau pada 20 April 1870 di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Beliau merupakan putra dari pasangan Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi dengan Nyai Salmah.

Kelahiran Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi merupakan kelahiran yang sangat ditunggu-tunggu kedua orang tuanya, karena setelah bertahun-tahun menikah, Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah belum juga diberi keturunan.

Kelahiran Habib Ali 

Pada suatu waktu, Nyai Salmah kemudian bermimpi menggali sumur yang airnya melimpah ruah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu, diceritakanlah mimpi itu kepada sang suami.

Setelah mendengar mimpi istrinya itu, Habib Abdurrahman langsung menceritakannya kepada Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih.

Kemudian, Habib Syekh menjelaskan, mimpi tersebut sebagai tanda akan la hirnya seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah ruah berikut keberkahannya.

Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.

Simthud Durar

Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba’abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin Makhdzam.

Tapi sayangnya, ayah beliau, Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatulloh pada saat putra beliau masih berumur 10 tahun.

Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi berpulang ke haribaan Allah SWT pada usianya ke 98 tahun, tepatnya pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta.

Ketika Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi berusia 20 tahun, beliau mengadakan pengajian sambil berdagang kecil-kecilan di Pasar Tanah Abang.

Pada usia itu pula Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi menikah dengan Hababah Aisyah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Beliau dikaruniai sepuluh anak :

Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan Alatas (Huraidah), dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.

Pulang dari Hadramaut , ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor.

Ikut mendirikan NU Jakarta.Ketika NU Berdiri, Habib Ali Kwitang Kirim Utusan ( KH Marzuki,Cipinang) Kepada KH Hasyim Asy’ari - Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (1870-1968), atau akrab dipanggil Habib Ali Kwitang,

Ketika sampai di sana, Kiai Marzuki kemudian meminta satu hal kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Yaitu agar jilbab yang dipakai perempuan NU dibenarkan. Jika itu dilakukan, Kiai Marzuki yakin NU akan bisa masuk ke tanah Batavia.

Seperti dilansir NU Online, setahun kemudian Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim datang ke Batavia. Mereka ingin agar NU didirikan di sana.

Ketika sampai di Batavia, orang yang pertama kali ditemui Hadratussyekh Hasyim Asy’ari adalah Habib Ali Kwitang. “Setelah itu tahun 1928, NU dibentuk di Batavia. Habib Ali Kwitang memberikan izin pendirian waktu itu. Lagi-lagi Habib Ali Kwitang masih memegang fatwa Habib Utsman bin Yahya. Jadi jangan dimasukkan namanya (Habib Ali Kwitang di jajaran pengurus NU).

Menurut Anto, semula orang-orang di Batavia kurang tertarik masuk NU karena tidak ada nama Habib Ali Kwitang di sana. Kemudian Kiai Marzuki ‘menegur’ Habib Ali Kwitang karena dulu ia yang memintanya untuk mendirikan NU di Batavia, namun ternyata setelah berdiri Habib Ali Kwitang malah tidak bersedia bergabung.

Sampai pada akhirnya Habib Ali Kwitang memproklamirkan dirinya jadi warga Nahdliyin dengan masuk NU. Ini jarang yang mengungkapkan, padahal ini dipublikasikan di koran-koran zaman dulu. Salah satu korannya berbahasa Belanda, koran Het Nieuws van den Dag (terbit) tanggal 20 Maret 1933.

Seorang tokoh karismatik di Batavia (Jakarta) pada abad 20, Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang (lahir di Jakarta, 20 April 1870) pernah memproklamasikan diri sebagai warga NU. Ia menyatakan hal itu pada tahun 1933 disaksikan salah seorang pendiri dan pemimpin NU, KH Abdul Wahab Chasbullah. 

Peristiwa Habib Ali Kwitang itu disaksikan oleh 800 ulama dan 1000 orang warga umum DKI Jakarta. Mereka juga turut serta dengan pengakuan Habib Ali Kwitang, menjadi warga NU. 

Peristiwa tersebut diabadikan oleh koran Belanda, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indiie .edisi 20 Maret 1933..

Sebetulnya, sebelum Habib Ali Kwitang memproklamasikan diri sebagai Nahdliyin, pada tahun 1928, NU sudah berdiri di Jakarta yang dipimpin KH Ahmad Marzuki bin Mirshod yang dikenal dengan panggilan Guru Marzuki. Guru Marzuki mendirikan NU atas izin gurunya, yang tak lain adalah Habib Ali Kwitang sendiri setelah melakukan penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. 

Habib Ali Kwitang merupakan salah seorang tokoh yang hadir pada Muktamar NU ketujuh di Bandung pada tahun 1932.  Muktamar NU Bandung berlangsung pada tanggal 12 sampai 16 Rabiul Tsani 1351 H bertepatan dengan 15 sampai dengan 19 Agustus 1932 M. Muktamar itu diakhiri dengan openbaar (rapat umum) yang berlangsung di masjid Jami Kota Bandung.  

Pada rapat umum itu, Masjid Jami Kota Bandung dihadiri sepuluh ribu kaum Muslimin yang hadir dari kota-kota terdekat sekitar Jawa Barat, para peserta muktamar dari berbagai daerah di Indonesia, para pengurus Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO, sekarang PBNU). 

Menurut laporan muktamar tahun itu, hadir 197 ulama dan 210 pengiringnya dan tamu lain-lain dari 83 daerah di Indonesia.  Para ulama itu itu menyelesaikan beberapa persoalan yang diajukan jauh-jauh hari dari berbagai cabang. Mereka berhasil menyelesaikan persoalan nomor satu hingga 12 secara berurutan. Kemudian mereka membahas langsung nomor 23 oleh karena sangat urgen segera diselesaikan.  

Meskipun Habib Ali mengizinkan NU berdiri di Jakarta, tapi sayangnya tak berkembang dengan baik. Pasalnya, Habib Ali Kwitang tak mau terlibat lebih dalam di NU dengan mencantumkan namanya di kepengurusan. Ia hanya mengizinkan dan mengikuti acara besar NU seperti muktamar.  

Menurut Anto Jibril, seorang kolektor arsip Habib Ali Kwitang, saat mengisi acara Kajian Manuskrip Ulama Nusantara di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (27/4/2019), Habib Ali tak mau mencatatkan diri sebagai pengurus NU karena ia memegang fatwa gurunya, Habib Utsman yang memintanya untuk tidak mencantumkan diri di organisasi apa pun. 

Ini menjadi keresahan Guru Marzuki. Tak banyak ulama dan kiai yang berminat. Juga masyarakat umum. Maka, suatu ketika, Guru Marzuki berkata kepada Habib Ali Kwitang. 

“Ya Habib, engkau yang menyuruh aku mendirikan NU di DKI Jakarta, tapi engkau tak mau ikut di dalamnya,” begitu kira-kira pernyataan yang bernada permintaan dari Guru Marzuki. 

Dari situlah, maka terjadi peristiwa Habib Ali Kwitang memproklamasikan dirinya sebagai warga NU secara terbuka di hadapan 800 ulama dan 1000 warga Jakarta. Mereka ikut keputusan Habib Ali. Salah seorang di antaranya  adalahHabib Salim Jindan. Menurut Anto Jibril, peristiwa itu tersebut menjadi perhatian media massa pada zamannya, termasuk koran Belanda tersebut. 

 Habib Ali Kwitang mendeklarasikan dirinya menjadi Nahdliyin pada 1933, atau setahun sebelum wafatnya Kiai Marzuki. Kemudian diadakan Kongres NU di daerah Kramat, Batavia. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya kongres tersebut.

Setelah Habib Ali Kwitang mendeklarasikan diri menjadi Nahdliyin, ada sekitar 800 ulama yang saat itu siap masuk NU.

“Dan kurang lebih seribu, disebutkan di koran itu, siap masuk pula menjadi warga Nahdlatul Ulama. Pertama Habib Salim bin Jindan,

Dua bulan setelah peristiwa itu, DKI Jakarta menjadi tuan rumah muktamar NU kedelapan, yang berlangsung bulan Mei 1933 yang berlangsung di daerah Kramat. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya kongres tersebut, sementara Hadratussyekh berhalangan hadir. Setahun setelah muktamar itu, Guru Marzuki wafat. 

Habib Ali adalah sosok ulama’ besar Indonesia yang berjasa besar dalam dakwah Islam di Jakarta. Habib Ali bersahabat baik dengan Kiai Hasyim Asy’ari, karena mempunyai visi yang sama dalam dakwah Islam di Indonesia.

Pada saat jelang Proklamasi kemerdekaan RI, Habib Ali Kwitang meski seorang ulama besar yang selalu dakwah tentang Islam, namun jiwa-jiwa kebangsaannya sebagai warga negara Indonesia tak pernah padam. Dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Habib Ali Kwitang punya andil yang cukup penting.

 Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zein bin Umar Sumaith pernah mengatakan, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Soekarno meminta pendapat kepada Habib Ali Kwitang terkait waktu pelaksanaannya.

Habib Ali menentukan tanggal 17 Agustus 1945 M yang tepat pada 9 Ramadan 1364 H sebagai hari untuk membacakan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini juga dikatakan oleh Ketua PWNU DKI Kiai Samsul Ma'arif.

“Habib Ali Kwitang kala itu yang menentukan hari dan waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia,” katanya seperti dilansir dari NU Online, Senin (15/8/2022).

Dalam sumber lain disebutkan jika Soekarno juga meminta pendapat kepada pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari terkait tanggal proklamasi kemerdekaan. KH Hasyim Asy’ari melakukan musyawarah dengan para ulama lainnya. 

Hasil musyawarahnya, KH Hasyim Asy’ari menyarankan agar proklamasi kemerdekaan dilakukan pada hari Jumat di bulan Ramadan. Jumat adalah sayyidul ayyam (penghulunya hari) dan Ramadan adalah sayyidus syuhrur (penghulunya bulan).

Saat proklamasi kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi oleh Soekarno, kabar ini tidak cepat menyebar. Jangankan rakyat Indonesia, masyarakat Jakarta saja sebagian besar tidak tahu bahwa Indonesia baru saja merdeka. Boleh jadi hanya para tetangga di kawasan Menteng saja (kawasan Jl Pegangsaan) yang tahu peristiwa itu.

Maklum, komunikasi tidak secanggih sekarang. Bahkan suara Soekarno yang kita dengar saat ini, itu adalah suara rekaman dari RRI, bukan ketika proklamasi dibacakan.

Saat proklamasi kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi oleh Soekarno, kabar ini tidak cepat menyebar. Jangankan rakyat Indonesia, masyarakat Jakarta saja sebagian besar tidak tahu bahwa Indonesia baru saja merdeka. Boleh jadi hanya para tetangga di kawasan Menteng saja (kawasan Jl Pegangsaan) yang tahu peristiwa itu.

Maklum, komunikasi tidak secanggih sekarang. Bahkan suara Soekarno yang kita dengar saat ini, itu adalah suara rekaman dari RRI, bukan ketika proklamasi dibacakan.

Karena itu tidak banyak warga yang memasang bendera atau teriak “merdeka”. Untung saja, ada Habib Ali Kwitang. Habib yang banyak jamaahnya itu, termasuk dari segelintir orang di Jakarta yang tahu soal kemerdekaan.

Waktu itu, usai salat Jumat, Habib Ali memberitahukan kepada jamaah yang hadir agar memasang bendera merah putih. Perintah ini sedikit membingungkan awalnya. Apalagi Jepang masih bercokol. ” Umat Islam harus memahami, apa yang diumumkan pada hari ini diberitahukan kepada yang tidak mengetahuinya,” kata habib yang lahir di Jakarta pada 20 April 1869 itu.

Tapi darimana pula Habib Kwitang itu tahu bahwa Jumat itu Indonesia merdeka? Catatan sejarah menuliskan, sehari sebelum proklamasi, Soekarno datang ke kediaman sang habib ditemani MH Thamrin, pahlawan asal Jakarta. Tujuannya minta doa dan restu. Kebetulan pula Soekarno sudah tiga bulan ikut pengajian di Kwitang.

Habib Ali Kwitang juga mempunyai kedekatan dengan Ir. Soekarno.Tak berlebihan kiranya jika kita mengagumi sosok Presiden RI Pertama Ir Soekarno. Kedekatannya dengan ulama Zurriyah Nabi, Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta) menjadi berkah tersendiri bagi beliau dan juga bangsa Indonesia.

Ada banyak referensi yang membuktikan bahwa Soekarno cukup dekat dengan tokoh habaib yang sangat dihormati di masa Soekarno itu. Bahkan, ulama keturunanan Nabi ini punya sumbangsih besar dalam penetapan hari dan waktu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Seorang tokoh karismatik di Batavia (Jakarta) pada abad 20, Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang (lahir di Jakarta, 20 April 1870) pernah memproklamasikan diri sebagai warga NU. Ia menyatakan hal itu pada tahun 1933 disaksikan salah seorang pendiri dan pemimpin NU, KH Abdul Wahab Chasbullah. 

Peristiwa Habib Ali Kwitang itu disaksikan oleh 800 ulama dan 1000 orang warga umum DKI Jakarta. Mereka juga turut serta dengan pengakuan Habib Ali Kwitang, menjadi warga NU. 

Peristiwa tersebut diabadikan oleh koran Belanda, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 20 Maret 1933. 

Sebetulnya, sebelum Habib Ali Kwitang memproklamasikan diri sebagai Nahdliyin, pada tahun 1928, NU sudah berdiri di Jakarta yang dipimpin KH Ahmad Marzuki bin Mirshod yang dikenal dengan panggilan Guru Marzuki. Guru Marzuki mendirikan NU atas izin gurunya, yang tak lain adalah Habib Ali Kwitang sendiri setelah melakukan penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. 

Selaku pemimpin bangsa, Soekarno merangkul dan menghormati Habib Ali sebagai ulama yang patut dimintai fatwa dan nasihatnya. Betapa berkahnya sebuah bangsa tatkala pemimpin (umaro) dan ulama bergandengan tangan.

Untuk diketahui, Masjid Kwitang pernah menjadi tempat sholat Soekarno dan para Founding Fathers (bapak pendiri bangsa) bersama Habib Ali Al-Habsyi. Bahkan disebutkan bahwa Bung Karno pernah bersembunyi di masjid ini ketika masa penjajahan Belanda.

Masjid Kwitang kini dikenal dengan Masjid Al Riyadh yang berlokasi di Jalan Kembang IV, Kwitang, Jakarta Pusat. Masjid ini sangat terkenal karena menyimpan banyak sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia. Di areal masjid ini juga Habib Ali Bin Abdurachman Bin Abdullah Al Habsyi dimakamkan dan hingga kini selalu ramai peziarah.

Masjid Kwitang merupakan tempat Habib Ali berdakwah. Awalnya hanya berupa surau dengan desain rumah panggung, kini menjadi bangunan masjid dua lantai yang berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter persegi.

Masjid ini diresmikan oleh Presiden Soekarno dan namanya diubah menjadi Khuwatul Ummah artinya kekuatan umat. Karena situasinya pada saat itu bangsa Indonesia sedang menjaga kemerdekaan.

Masjid Al-Riyadh hanya ada tiga di dunia. Pertama, ada di Hadhramaut, Yaman. Dua lagi ada di Indonesia yaitu di Kwitang dan di Kota Solo tepatnya di Pasar Kliwon.

Ustaz Anto Djibril membenarkan kedekatan Soekarno dengan Habib Ali Habsyi. Dalam referensi yang dikumpulkannya dalam arsip Pustaka Lutfiyah diabadikan beberapa momen saat Soekarno dan para pemimpin Indonesia sholat Jumat bersama Habib Ali-Habsyi pada Tahun 1942.

Ketika terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami’ dalam rangka meminta pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli. Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.

Setelah itu, ia pergi ke Kota Pekalongan untuk berkunjung kepada Habib Ahmad bin Abdullah Al-Aththas. Saat itu hari Jum’at, selepas shalat Jum’at, Habib Ahmad menggandeng tangan Habib Ali dan menaikannya ke mimbar. Habib Ali lalu berkata pada Habib Ahmad, ”Saya tidak bisa berbicara bila antum berada di antara mereka.” Habib Ahmad lalu berkata kepadanya, ”Bicaralah menurut lidah orang lain”(seolah-olah engkau orang lain).

Ia mulai melaksanakan maulid akhir Kamis bulan Rabiul Awwal setelah wafatnya Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sejak tahun 1338 H/1920 M sampai 1355 H/1937 M di madrasah Jamiat Kheir. Kemudian pada tahun 1356 H/1938 M ia membangun masjid di Kwitang yang dinamakan masjid Ar-Riyadh. Lalu maulid dipindahkan ke masjid tersebut pada tahun 1356 H.

Menurut Abdul Qadir Umar Mauladdawilah dalam 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia (2013), di masa awal ketika Habib Ali merintis majelisnya, tidak ada seorangpun yang berani membuka majelis ta’lim karena dakwah waktu itu sangat diawasi dan dibatasi gerak-geriknya oleh pemerintah Kolonial Belanda.

Para ulama kala itu dianggap berbahaya oleh pemerintah. Mereka kerap diasosiasikan sebagai penghasut, provokator, hingga pemberontak terhadap kekuasaan kolonial. Itulah sebabnya mengapa para ulama semua perilakunya diawasi ketat oleh pemerintah.

Barulah setelah majelis Habib Ali berdiri, bermunculan beberapa majelis lain di Jakarta dan di berbagai daerah di luar Jakarta. Kini majelis ta’lim menjadi ciri tersendiri dari model dakwah para ulama di Jakarta, entah yang berasal dari golongan habaib atau kyai biasa.

Hampir di tiap sudut kota Jakarta sekarang pasti ada forum pengajian untuk masyarakat umum. Semua itu tidak mungkin terjadi tanpa ada upaya awal dari Habib Ali.

Berangkat dari hal di atas tidak keliru jika dikatakan kalau pengajian umum minggu pagi rintisan Habib Ali merupakan forum ilmu yang sangat berpengaruh di Tanah Air.

Saking berpengaruhnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam satu artikel di Majalah Tempo berjudul Kwitang! Kwitang! (1983), menulis bahwa majelis Habib Ali bahkan sampai dijadikan strategi mencari penumpang oleh para kondektur bus kota yang trayeknya melewati lokasi pengajian.

Menurut Gus Dur, tiap minggu pagi para kondektur bus kota yang lewat lokasi pengajian akan berteriak, “Kwitang, Kwitang,” sebagai cara menarik penumpang.

Para kondektur ini tahu bahwa animo masyarakat yang akan hadir ke pengajian Habib Ali sangat besar. Itulah sebabnya mereka berteriak, “Kwitang, Kwitang,” guna mencari penumpang. Tingkah para kondektur ini uniknya hanya terjadi di hari minggu atau di hari ketika pengajian berlangsung.

Di hari biasa, tidak ada kondektur yang berteriak, “Kwitang, Kwitang.” Mereka kembali ke mode normal seperti sebelumnya. Hal demikian menjadi bukti bagaimana besarnya pengaruh/barokah pengajian Habib Ali terhadap lingkungan sekitar. Majelis ta’lim tidak hanya menjadi forum ilmu, tapi juga menjadi sarana orang banyak untuk mengais rezeki.

 Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga Al-Kaf agar mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar berangkat ke Hadramaut untuk berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar bernegosiasi, akhirnya masjid itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai sekarang tercatat sebagai wakaf pada pemerintah Hindia Belanda.

Ukuran tanah masjid itu adalah seribu meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun madrasah yang dinamakan unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap bulan. Kesimpulannya, pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan-perbuatannya mengherankan orang yang mau berfikir. Shalatnya sebagian besar dilakukannya di masjid tersebut.

Habib Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun, kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali.

Habib Ali sebagaimana para habaib lainnya juga suka melakukan surat menyurat dengan para ulama dan orang-orang sholeh serta meminta ijazah dari mereka. Dan para ulama yang disuratinya pun dengan senang hati memenuhi permintaan Habib Ali karena kebenaran niat dan kebagusan hatinya. Ia memiliki kumpulan surat menyurat yang dijaga dan dinukilkan (dituliskan ) kembali.

Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin dalam Rikhlatu Asfar menyebutkan perasaan kecintaan dan persahabatan yang sangat erat. Dalam catatan perjalanan itu, Sayyid Abubakar mencatat saat-saat perjalanan (rikhlah) mereka berdua ke berbagai daerah seperti ke Jawa, Singapura dan Palembang.”Saya juga menghadiri pelajaran-pelajarannya dan shalat Tarawih di masjid. Tidak ada yang menghadalangi saya kecuali udzur syar’i (halangan yang diperbolehkan oleh syariat).”

Pada salah satu surat Sayyid Abubakar ketika Habib Ali Kwitang di Hadramaut, menyebutkan, “Perasaan rindu saya kepadamu sangat besar. Mudah-mudahan Allah mempertemukan saya dan engkau di tempat yang paling disukai oleh-Nya.”

Ternyata setelah itu, mereka berdua dipertemukan oleh Allah di Makkah Al-Musyarrafah. Keduanya sangat bahagia dan belajar di Mekah, mengurus madrasah dan majelis taklimnya diserahkan kepada menantunya, Habib Husein bin Muhammad Alfaqih Alatas. Di Mekah ia mendapat ijazah untuk menyelenggarakan Maulud Azabi, karya Syekh Umar Al-Azabi, putra Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Azabi.

Karamat Habib Ali Kwitang sebenarnya sangat banyak. Saat je Hadramaut dengan Habib Alwi bin Ali al Habsyi berkunjung ke Hadramaut, Dulu Tatkala Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi berkunjung ke Negeri Hadramaut untuk menziarahi para Ulama, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Dalam kunjungannya, Beliau di temani oleh putra Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi  yaitu Al Habib Muhammad Al Habsyi.

Diantara kunjungannya. Beliau menyempatkan menghadiri Majelisnya Al Habib Alwi bin Abdullah bin Sahab di kota Tarim.

Melihat kedatangan Al Habib Ali Al Habsyi, Al Habib Alwi bin Syahab langsung menyambutnya dengan penuh kehormatan dan menempatkan Habib Ali Al Habsyi duduk di bagian depan berdampingan dengan Beliau.

Di hadapan Jamaah yang hadir di Majelis Beliau, Habib Alwi bin Syahab berkata :

"Hadirin sekalian, kita telah kedatangan seorang Alim Ulama dari Jawa, dari Bandar Betawi, yang namanya sudah tidak asing lagi di Negeri ini yaitu Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi".

"Dan atas kehadiran Beliau di Majelis ini, kami meminta kepada Al Habib Ali Al Habsyi untuk bermohon kepada Allah SWT agar menurunkan air hujan di Negeri kita ini, karena sudah cukup lama tidak turun hujan yang menimbulkan kekeringan di mana-mana, dan kita mohon kepada tamu kita Al Habib Ali Al Habsyi untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas niat tersebut."

Al Habib Ali Al Habsyi sempat menolaknya karena Beliau datang adalah untuk mengambil barokah dan mengharap do'a Al Habib Alwi bin Syahab. Tapi karena di mohon oleh tuan rumah, pada akhirnya Habib Ali Al Habsyi memanjatkan do'a kepada Allah SWT.

Selesai memanjatkan do'a, maka tidak begitu lama terlihat cuaca mulai mendung dan Habib Alwi berkata : 

"Sepertinya Majelis ini dicukupkan saja dulu, karena sebentar lagi akan turun hujan".

Tidak begitu lama, hujan pun turun dengan lebatnya dan akhirnya Habib Ali Al Hansyi bermalam di rumah Habib Alwi bin Syahab.

Hampir satu hari lamanya hujan tidak kunjung reda, maka pada akhirnya beberapa Jama'ah yang mewakili penduduk Negeri Tarim meminta kepada Habib Alwi bin Syahab agar menyampaikan kepada Habib Ali Al Habsyi untuk berdo'a agar hujan yang begitu lebat di alihkan di Wadi atau di sungai-sungai saja.

Dan Habib Alwi bin Syahab meminta lagi kepada Habib Ali Al Habsyi : "Ya Hababana Ali, mohonlah kepada Allah agar hujan ini di turunkan di sekitar kota saja yang tidak ada rumah rumahnya. Karena kalau tidak, rumah-rumah kami ini bisa hancur karena semua terbuat dari Tanah".

Mendengar perkataan Habib Alwi bin Syahab, langsung Habib Ali Al Habsyi menengadahkan tangannya tinggi-tinggi seraya berdo'a Kepada Allah SWT. Subhanallah, hujan pun berangsur-angsur berhenti.

Melihat hal demikian, Habib Alwi bin Syahab memeluk Habib Ali Al Habsyi seraya berkata :

"Yaa Habib Ali Al Habsyi, Antum Mujabatud Da'wah. Beruntung sekali Negeri yang Antum ada di dalamnya".

Setelah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun Simthud Durar, wafat pada 1913, pembacaan Maulid Simthud Durar pertama kali digelar di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, di majelis taklim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Belakangan Maulid Simthud Durar dibaca di majelis taklim di Tegal, Jawa Tengah, kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu di Masjid Ampel, Surabaya.

Tahun 1919, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, pelopor peringatan Maulid dengan membaca Simthud Durar, wafat di Jatiwangi. Sebelum wafat ia berpesan kepada Habib Ali Al-Habsyi agar melanjutkannya. Maka sejak 1920 Habib Ali Kwitang mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Durar di Tanah Abang. Ketika Ar-Rabithah Al-Alawiyah berdiri, perkumpulan itu mendukung Maulid tersebut. Dan sejak 1937 acara Maulid diselenggarakan di Masjid Kwitang.

Sebagai pecinta maulid sejati, dalam menghadiri peringatan Maulid SAW, Habib Ali Kwitang juga pernah membeda-bedakan pengundangnya. Tentang hal ini Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pernah menceritakan dalam sebuah kesempatan. Suatu malam, rumah Habib Ali Kwitang diketuk oleh seseorang yang bermaksud mengundangnya menghadiri selamatan sekaligus maulidan. Istri Habib Ali lah yang membukakan pintu.

Orang tersebut lalu menyampaikan maksudnya untuk mengundang sang habib sepuh itu. Namun istri Habib Ali menggeleng, “Maaf, Habib sedang kurang enak badan. Saat ini beliau sudah akan tidur.”

Dengan tampak memelas orang itu memohon, “Tolong, Bu. Jama’ah sudah terlanjur berdatangan ke tempat saya, sementara ustadz kampung saya yang sedianya akan memimpin acara tersebut berhalangan hadir.

Belum lagi sang wanita tuan rumah itu menjawab, tiba-tiba Habib Ali Kwitang telah berdiri di belakangnya dengan pakaian lengkap. Ulama sepuh itu segera mengajak sang pengundang itu berangkat.

Ternyata rumah pria itu terletak di kawasan kumuh, dekat rel kereta api. Sesampainya di tempat itu, Habib Ali pun langsung memimpin pembacaan maulid dan menyampaikan taushiah. Betapa senangnya sang tuan rumah dan para tamu karena acara sederhana mereka dihadiri seorang ulama ternama yang karismatik.

Kemudian tibalah acara penutup, yakni makan bersama. Hidangan malam itu adalah nasi putih hangat dengan lauk belut goreng. Habib Ali Kwitang pun tertegun. Ia tak suka belut, namun ia tak ingin mengecewakan tuan rumah yang tentu sudah bersusah payah menyiapkan makanan itu.

Maka habib sepuh itu berkata dengan santun, “Wah menunya lezat sekali. Saya jadi teringat istri dan anak-anak saya. Maaf, Pak. Bolehkah makanan saya ini dibungkus dan dibawa pulang, agar saya bisa memakannya bersama keluarga di rumah?”

Tuan rumah yang mengira Habib Ali menyukai belut pun segera membungkuskan nasi dan belut tersebut. Dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga ia mengantarkan sang habib. Pagi harinya, matahari belum lagi sepenggalah ketika rumah Habib Ali Kwitang diketuk. Dengan bergegas Habib Ali membukakan pintu. Ternyata yang mengetuk pintu itu adalah sang pengundang Maulid tadi malam.

“Maaf, Bib. Nampaknya Habib sangat menyukai belut. Kebetulan saya pedagang belut. Sebagai tambahan ucapan terima kasih keluarga kami atas kehadiran habib tadi malam, kami memberikan sekedar luk untuk Habib sekeluarga,” kata orang itu sambil menyerahkan seember besar belut segar.

Kembali Habib Ali terbengong-bengong menyaksikan kepolosan tamunya itu. Dengan menampakkan senyum gembira, Habib Ali pun menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.


Dengan Ulama

Betapa erat hubungan antara ulama Betawi dan para habaib, dapat kita simak dari pernyataan (alm) K.H. M. Syafi’i Hadzami tentang dua gurunya, Habib Ali Al-Habsyi dan Habib Ali Alatas (wafat 1976). “Sampai saat ini, bila lewat Cililitan dan Condet (dekat Masjid Al-Hawi), saya tak lupa membaca surah Al-Fatihah untuk Habib Ali Alatas,” katanya.

Supaya dekat dengan rumah Habib Ali, gurunya yang tinggal di Bungur, Kiai Syaf’i Hadzami pindah dari Kebon Sirih ke Kepu, Tanah Tinggi. Ia juga tak pernah mangkir menghadiri majelis taklim Habib Ali di Kwitang, Jakarta Pusat. Ketika ia minta rekomendasi untuk karyanya, Al-Hujujul Bayyinah, Habib Ali bukan saja memujinya, tapi juga menghadiahkan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang Rp 5.000. Kala itu, nilai uang Rp 5.000 tentu cukup tinggi.

Demikianlah akhlaq para orangtua kita, akhlaq yang begitu indah antara murid dan guru. Kala itu para habib bergaul erat dan tolong-menolong dengan para ulama Betawi. Akhlaq yang sangat patut kita teladani sebagai generasi penerusnya.

Bertemu Wali Alloh

Saat Habib Ali Kwitang berjumpa dengan Murobbi Ruuhina, almarhum Kyai Moh. Hasan Sepuh Genggong sejenak Habib Ali Kwitang tertegun dan terdiam.

Selepas itu dipeluknya Mbah Hasan Sepuh Genggong dengan penuh keharuan. Air mata deras mengaliri pipi Habib Ali Kwitang.

Saat itu ada seorang yang menemani Habib Ali Kwitang bertanya:

“Bib, siapakah orang tua yang sangat sepuh ini engkau peluk tubuhnya Hingga engkau menitikkan air mata seperti ini,” tanya lelaki itu.

Sambil mengusap air matanya, Habib Ali Kwitang berkata:

“Ketahuilah anakku, aku sering bermimpi berjumpa Rasulullah dan aku sering mendapati orang sepuh ini bersama Rasulullah.” ucap Habib Ali Kwitang.

“Aku melihatnya selalu mengiringi Rasulullah sambil memegangi tangan Rasulullah,” jawab Habib Ali sambil menunjuk kepada Mbah Hasan Sepuh Genggong.

Demikianlah kisah keramat Habib Ali Kwitang yang berjumpa sosok wali sepuh yang selalu hadir dalam mimpinya bersama Rosulullah SAW. Sholu 'ala Nabi Muhammad.

Pada 1960, KH Syafi’i Hadzami berhasil menulis sebuah kitab berjudul Al-Hujajul Bayyinah (argumentasi-argumentasi yang jelas). Untuk karyanya ini, ia meminta rekomendasi kepada Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi alias Habib Ali Kwitang. Setelah membaca naskah kitab tersebut, Habib Ali bukan hanya memberikan rekomendasi dalam bahasa Arab, melainkan juga memberikan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang sebesar Rp 5.000 kepadanya – nilai yang cukup besar untuk ukuran saat itu.


Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi berpulang ke haribaan Allah SWT pada usianya ke 102 tahun, tepatnya pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta.

Pada usia itu pula Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi menikah dengan Hababah Aisyah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Beliau dikaruniai sepuluh anak :

Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan berita duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi majelis taklim tempat ia mengajar.

Sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh akidah Alawiyin.

Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi'i, K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan dakwah Islam.

Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi'i, sejak 1971 hingga 1985, memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah, dan K.H. Thahir Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.

Tidak mengherankan jika ketiga majelis taklim tersebut menjadikan kitab An-Nasaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi dari Hadramaut, penyusun Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.

“Meskipun kitab kuning ini telah berusia hampir 300 tahun, masalah-masalah yang diangkat masih relevan,” kata K.H. Abdul Rasyid bin Abdullah Syafi'i, yang meneruskan Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah.

Kini Asy-Syafi’iyah memperluas kiprahnya dengan membuka Universitas Asy-yafi’iyah di Jatiwaringin, Jakarta Timur. Sedangkan K.H. Abdul Rasyid A.S. membuka Perguruan Ilmu Al-Quran di Sukabumi. Sementara kakaknya, Hajjah Tuty Alawiyah A.S., yang pernah menjadi menteri urusan peranan wanita pada kabinet Habibie, meneruskan kegiatan dakwahnya dalam Badan Koordinasi Majelis Taklim se-Jabotabek.

Mengutip laman NU Online, PWNU DKI Jakarta pernah mengusulkan Habib Ali Kwitang sebagai pahlawan kemerdekaan. Namun, usulan tersebut perlu izin dari pihak keluarga.

“PWNU mengusulkan ini Bib kepada Al Walid Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi untuk diusulkan ke negara supaya bisa menjadi pahlawan kemerdekaan. Tapi semua itu harus izin keluarga,” tutur Ketua PWNU DKI Kiai Samsul Ma'arif meminta izin kepada keluarga Habib Ali Kwitang di kediamannya pada September 2021 lalu.

“Kalau memang diperbolehkan, kami akan membuat surat ke Presiden, bahwa allahyarham Habib Ali supaya menjadi salah satu pahlawan kemerdekaan," sambungnya..(***) Aji Setiawan

Daftar Pustaka :

1. Saudagar Baghdad dari Betawi"". Shahab, A: Saudagar Baghdad dari Betawi, hal 43. Penerbit Republika, 2004. ISBN 979-3210-30-3

2. Rahman Prayitno Sodikin.Habib Ali Kwitang Berjumpa dengan Sosok Kakek Tua Misterius, Berikut Kisah Keramat Sang Wali. Pikiran Rakyat.  24 Juli 2022, 

3.  Aji Setiawan Kolom. Habib Ali Kwitang, Penggerak Majelis Taklim di Tanah Betawi.b Iqra.id , Teladan 3 Januari 2022

 4. Muhamad Husni Tamam. Kisah Keturunan Rasulullah SAW Habib Ali Kwitang Turut Putuskan Tanggal 17 Agustus Sebagai Hari Kemerdekaan RI. Lipuran 6 .16 Agu 2022, 

5. Willy Vebriandy. Habib Ali Kwitang, Waliyullah yang Menjadi Pakunya Jakarta. Hidayatuna.id August 16, 2022

6. Rusman H Siregar. Masjid Kwitang, Saksi Sejarah Kedekatan Soekarno dengan Habib Ali Al-Habsyi (1). Sindo. Kamis, 12 Agustus 2021 

7. Abdullah Alawi. Habib Ali Kwitang Memproklamasikan Diri sebagai NU Tahun 1933. Nu.or.id. Selasa, 28 Januari 2020 

 8. Novi Fauzoyah.Ratusan Ulama Masuk NU Usai Habib Ali Kwitang Deklarasikan Diri Jadi Nahdliyin. Muslim.id, 8 Januari 2020


Tidak ada komentar: