Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

KH Abdul Hadi Zahid Ulama Berhati Lembut


Suarabamega25.com - Pada awalnya, Pondok Pesantren Langitan dibangun di atas tanah ladang di tepi sebelah utara Bengawan Solo. Karena merupakan daerah yang sering terkena dampak banjir, lokasi pesantren dipindahkan di sebelah utara Tangkis bagian utara di tepi jalan provinsi yang menghubungkan Tuban dan Babat dengan Surabaya. Pemindahan lokasi dilakukan pada 1904 M.

Tuban sendiri adalah kota di Pantai Utara Jawa Timur yang ramai dan penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain sebagai bandar berpengaruh, juga merupakan pusat pengembangan agama Islam selain di Sedayu, Gresik, Surabaya, dan lainnya. Daerah Widang, letak Pondok Pesantren Langitan berada, adalah daerah yang ramai. Lokasinya yang dekat dengan Bengawan Solo merupakan jalur lalu lintas perdagangan dan penambangan potensial bagi masyarakat dan para pedagang dari kota-kota besar menuju kota-kota dan tempat perdagangan yang terletak di sepanjang perairan tersebut, baik yang ada di daerah pedalaman maupun yang ada di tepi pantai.


Sejarah nama Pondok Pesantren Langitan memiliki beberapa versi. Namun, satu sama lainnya saling melengkapi. Pertama, Langitan merupakan perubahan dari kata Ngelangitan, gabungan dari kata Ngelangi (Jawa) yang berarti berenang dan Wetan (Jawa) yang berarti Timur. Hal ini dikaitkan dengan cerita adanya seseorang yang bermaksud tirakat dengan berenang di Sungai Bengawan Solo dalam tujuh kali putaran dari arah Barat ke Timur. Pada putaran terakhir ia keluar dari air dan bertemu dengan Syeikh Muhammad Nur. Sejak saat itulah dinamai dengan Pesantren Ngelangitan.

Saat pertama kali berdiri, Pondok Pesantren Langitan hanya sebuah surau kecil di daerah Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Sang pendiri, KH Muhammad Nur, mengajar keluarga dan tetangga dekat untuk meneruskan perjuangan dalam mengusir penjajah dari tanah Jawa. KH Muhammad Nur mengasuh pondok sekitar 18 tahun mulai tahun 1852 hingga 1870.

Ponpes Langitan berpegang teguh pada kaidah “Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholih Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah” yakni memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif. Itu membuat ponpes itu tidak sampai terombang-ambing oleh derasnya arus globalisasi, namun justru sebaliknya dapat menempatkan diri dalam posisi yang strategis, dan bahkan kadang-kadang dianggap sebagai alternatif.

Meski berawal dari surau kecil, dalam rentang satu abad Ponpes Langitan menjadi saksi sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pondok ini ternyata pernah menjadi tempat belajar pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. KH Hasyim Asy’ari, menghabiskan 3 tahun di pondok  tersebut pada akhir tahun 1900-an. Ada pula tokoh-tokoh NU yang pernah belajar di pesantren tersebut seperti KH Syamsul Arifin (ayah KH As’ad Syamsul Arifin), KH Shiddiq (ayah 

Tidak ada komentar: