Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Syaikh Abdul Malik, Banyumas Sesepuh Mursyid Naqsabandiyah Khalidiyah Tanah Jawa


Suarabamega25.com - Diantara bisingan kendaraan bermotor, hilir mudik masyarakat di tengah perkotaan, menyapa setiap aktifitas yang ramai. itulah gambaran tentang Kota Purwokerto dengan kepadatannya.

Purwokerto adalah ibukota Kabupaten Banyumas. Purwokerto menyimpan beragam budaya, destinasi religi, dan cerita-cerita sejarah. Salah satu cerita sejarah yang terkenal adalah tentang sosok Syeikh Abdul Malik Kedungparuk.

Mengenal sosok Syeikh Abdul Malik tidak bisa lepas dari salah satu muridnya yang sukses menjadi ulama berkaliber internasional, yakni Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan.

Dalam buku Biografi Syeikh Abdul Malik yang ditulis oleh Ahmad Mukhdhor, Syeikh Abdul Malik adalah seorang ulama besar yang ahli ibadah, alim, dan kharismatik. Ketokohan Syeikh Abdul Malik diakui oleh semua kalangan ulama, baik di dalam negeri atau pun luar negeri.

Ia adalah sosok ulama yang cukup di segani di Banyumas Jawa Tengah.Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah

Pada masa Mbah Ilyas, sudah terdapat tradiri hampar tikar saat proses melahirkan. Tradisi ini sudah meluas ke seluruh Banyumas. saat itu, istri muda dari mbah ilyas sedang melahirkan, sehingga dihamparkan tikar sebagai proses persalinannya. Ajaib, jabang bayi tidak mau lahir di hamparan tikar, Mbah ilyas menyuruh pindah istrinya ke tempat tidur yang ada di kamar. Akhirnya jabang bayi lahir laki-laki. 

Bayi ini dipegang mbah ilyas dan diberi nama Muhammad Ash'ad (maknanya: Muhammad yang naik derajatnya). inilah doa orangtua yang saat itu sudah digelar tikar tetapi naik ke tempat tidur sehingga dengan sigap mbah ilyas beri nama demikian. Lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, tepat hari Jum'at, 3 Rojab 1294 H (1881 M). Dan Jabang bayi ini ketika sudah dewasa malah terkenal dengan nama Syaikh Muhammad Abdul Malik, Kedung Paruk, Purwokerto.

Karena Mbah Ilyas keturunan dari Pangeran Diponegoro, jadi secara otomatis beliau juga mewarisi garis nasabnya dan secara alamiah ia juga mewarisi ilmu dari Ayahnya dan juga leluhurnya. Berikut silsilahnya atas dasar ”Surat Kekancingan” dari Kraton Yogyakarta (pada Mbah Ilyas), yaitu KH Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin KH Muhammad Ilyas bin Raden Mas (RM) Haji Ali Dipowongso bin (putra Diponegoro) HPA. Diponegoro II bin (Pangeran Diponegoro) HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan (S) Hamengku Buwono III Yogyakarta. Dan asal usul Nama "Abdul Malik" didapat dari mbah Ilyas mengajaknya beribadah haji bersama. Sehingga saat itu dipanggil Abdul Malik (Mbah Malik).

Mbah Malik ketika masih kecil, berguru mengaji dengan mbah Ilyas langsung. karena Mbah Ilyas sebagai orangtua dan tidak ada yang berani mendidik anaknya selain mbah Ilyas sendiri. Khatam mengaji Al-Qur'an dengan ayahnya, Mbah Ilyas, ia mengikuti petunjuk ayahnya untuk mengaji Agama dengan Kiyai Abu bakar bin H Yahya Ngasinan, di daerah Kebasen, Banyumas dan Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.

Sang ayah adalah KH Muhammad Ilyas bin H Aly Dipowongso. Syaikh Muhammad Ilyas trukah berdakwah di wilayah eks Karsidenan Banyumas di mulai dari grumbul Kedungparuk sekembalinya dari menuntut ilmu selama puluhan tahun di Mekkah. Guru Ilyas demikian nama yang lebih dikenal dilahirkan di Kedung Paruk sekitar tahun 1186 H/1765 M dari seorang ibu bernama Siti Zaenab binti Maseh bin KH Abdussamad (Mbah Jombor). Guru Ilyas mulai menyebarkan luaskan thariqah naqsabandiyah khalidiyah sesuai tugas dan amanah gurunya yakni Syaikh Sulaiman Zuhdi Al Makki sekitar tahun 1246 H/1825 M pada usia 60 tahun.

Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.

Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.

Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Sekitar tahun 1950, Mbah Malik menikah dengan seorang Janda di Kebasen.Desa Mernek, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap. Di sana hiduplah seorang janda terpandang, warga setempat menyebutnya Nyai Carik Martareja alias Nyai Carik Mernek. 

Pada kemudian hari, Nyai Carik Mernek diperistri oleh KH Abdul Malik dari Kedungparuk. Mbah Abdul Malik menikah dengan Nyai Carik Mernek pada tahun 1950. Usai menunaikan ibadah haji, Nyai Mernek berganti nama Siti Salamah. 

Setelah menikah, Mbak Malik tinggal di Kedungparuk, Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Banyumas. Sementara itu, Nyai Mernek tetap tinggal di Desa Mernek, Kecamatan Maos, Cilacap. 

Setiap bulan, Mbah Malik mengunjungi sang istri di Mernek. Perjalanan dari Kedungparuk ditempuhnya dengan sepeda ontel. 

"Hampir setiap bulan, Mbah Malik rawuh di Desa Mernek dengan mengendarai sepeda ontel," kata KHA Makhsun kepada penulis pada Rabu, 16 Maret 2022.

Kadang-kadang, masih menurut KHA Makhsun, Mbah Malik datang ditemani Haji Soleh dari Dukuhwaluh. Dua tahun setelah menikah (1952), Mbah Malik dan istrinya menunaikan ibadah haji ke Baitullah. 

"Pada zaman itu orang haji butuh waktu tujuh bulan lamanya," kata KHA Makhsun.

Perjalanan di atas kapal laut, menurut KHA Makhsun, memakan waktu 17 hari. Adapun perjalanan antara Madinah dan Mekkah ditempuh dengan kendaraan onta memakan waktu tujuh hari. 

Mbah Malik dan istri berdua menaiki seekor onta saat menempuh perjalanan Makkah-Madinah. 

"Tempat duduk (sakeduk) di sisi sebelah kanan punggung onta berisi bekal makanan dan alat-alat masak, di sisi sebelah kiri untuk tempat duduk Mbah Malik bersama Mbah Mernek," kata KHA Makhsun. 

Sepulang haji, Mbah Mernek kembali tinggal di Mernek dan Mbah Malik tetap tinggal di Kedungparuk. 

Mbah Mernek alias Hj Siti Salamah meninggal dunia pada tahun 1976.

"Sehari kemudian, Mbah Malik rawuh takziyah ke Mernek bersama Habib Luthfi, diikuti Haji Soleh dan Pak Suyuti," kenang KHA Makhsun.KHA Makhsun adalah anak angkat Hj Siti Salamah dan sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Mbah Malik.

Banyak Tamu 

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya.                   

Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.

Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Dalam berbagai kesempatan oleh murid kesayangan Mbah Malik yakni Habib Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya (Pekalongan) bahwa beliau memiliki ratusan guru ruhani, tapi yang “kemantil-kantil” di pelupuk mata beliau adalah Mbah Malik.

Tiga hal yang diwasiatkan kepada penerus Mbah Malik yaitu; jangan tinggalkan shalat, jangan tinggalkan al-qur’an dan jangan tinggalkan shalawat. Disamping itu dalam berbagai kesempatan Mbah Malik sering menyampaikan pesan-pesannya kepada murid-murid dan cucu-cucu beliau untuk melakukan dua hal, yaitu pertama agar selalu membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan kedua agar sellau mencintai serta menghormati dzuriyyah (cucu-cucu ) Rasulullah SAW.

Nasionalisme Mbah Malik

Terdapat suatu kisah, dimana kisah ini, pelaku sejarahnya masih hidup, yaitu habib Luthfi, yang waktu itu sebagai murid kesayangan mbah malik. ketika dalam perjalanan, antara tengah jalan daerah Bantarbolang dan daerah Randu dongkal Pemalang, Mbah Malik (KH. Abdul Malik bin Ilyas) ujug ujug memerintahkan supirnya untuk berhenti;

“Bapak Yuti, istirahat dulu,” kata Mbah Malik kepada supirnya, Suyuti, untuk segera menepikan kendaraan mobil untuk beristirahat.

“Cari yang adem saja, biar untuk istirahat enak dan gelar tiker,” pinta Mbah Malik.

Waktu itu menunjukkan jam 09.45 WIB. Setelah menghentikan mobilnya, mbah malik, habib Luthfi, dan pak suyuti menggelar tikar untuk beristirahat dan bekal termos (beriisi makanan) juga dihidangkan, kemudian Mbah Malik mengeluarkan sebungkus rokok, khasnya klembak-menyan, lalu diracik mbah Malik sendiri setelah jadi baru dinikmati rokoknya oleh mbah Malik. Dengan menikmati rokoknya, mbah Malik bolak balik lihat Jam yang dibawanya di kantong.

“Dilut maning... (bentar lagi..).” kata mbah Malik.

Habib Luthfi menjadi keheranan. Dan penasaran apa yang dilakukan Gurunya. Karena Mbah Malik bolak balik lihat jam dan berkata sebentar lagi. Tiba-tiba Rokok yang tadi dinikmati dimatikan walaupun belum habis. Semakin kaget Habib Luthfi dan sang supir. Waktu menunjukkan Jam 09.50 WIB.

"Pak Yuti, bib Luthfi, Ayo mriki (mari ke sini)!” kata Mbah Malik.

Kemudian berkumpul mendekat dengan Mbah Malik, lalu dibacakan hadhroh alFatihah untuk Nabi Muhammad Shollallaahu Alaihi Wasallam, para shohabat dan lain lainnya sampai disebutkan nama-nama para pahlawan seperti leluhurnya P. Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiyai Mojo, Jend. Sudirman dan para tokoh pahlawan semuanya.

Tepat jam 10.00 WIB, Mbah Malik (mursyid thariqah) diam sejenak dan setelah itu mengangkat tangan dan berdoa "Allohummaghfirlahuum warhamhuum...dst'. Sesudah itu, Habib Luthfi Yahya memberanikan diri dan bertanya kepada gurunya tersebut ada apa kiranya mbah berbuat semacam itu,

“Mbah Malik, wonten nopo ta (Maaf, ada apa mbah)?”

“nopo niki jam 10, niku nopo namine, Pak SuKarno, Pak Hatta rumiyin maos nopo (Ingat dulu, Jam 10 Bpak SoeKarno dan Pak Hatta baca apa)?” jawab Mbah malik dan juga bertanya untuk mengingatkan habib luthfi.

“Baca Proklamasi, Mbah,” kata Habib Luthfi Yahya.

“Ya leres niku, kitho niku madep mantep menghormati (ya benar itu, kita disini duduk sejenak untuk mengingat dan menghormati),” kata Mbah Malik.

Inilah bentuk penanaman Nasionalisme kepada muridnya, Habib Luthfi yahya yang sekarang Habib Luthfi juga intens terus untuk selalu mengingatkan kepada para warga Indonesia dimanapun berada untuk mencintai negara Kesatuan Indonesia. Ila Hadroti Mbah Malik dan para pahlawan.

Sebelum mondok di PP Bani Malik, Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya berjumpa dengan Syeikh al-‘Arif Billah KH Abdul Malik bin Ilyas Purwokerto (Mbah Malik). Saat itu Habib Luthfi masih menimba ilmu di Kiai Bajuri Sudimampir Balongan Indramayu.

Kiai Bajuri adalah sosok yang sangat luas ilmunya, khususnya dalam bidang fiqh. Setiap kali Kiai Bajuri menjawab permasalahan dalam ilmu fiqih, beliau menjelaskannya dengan empat madzhab sekaligus.

Dengan keleluasaan khazanah keilmuan yang dimiliki Kiai Bajuri, setiap mengupas suatu masalah yang berkaitan dengan hukum fiqh. Kiai Bajuri menjelaskan secara proporsional yang bersumber dari keempat mazhab. Selain itu, Kiai Bajuri juga terkenal dengan kewaliannya.

Menurut beberapa sumber, Kiai Bajuri merupakan salah satu wali autad. Dalam dunia tasawuf wali autad hanya ada 4 dalam 1 abad.

Wasiat Kiai Bajuri Sebelum Wafat

Seminggu sebelum Kiai Bajuri wafat, kakinya tertusuk paku hingga tembus ke atas. Ia dawuh kepada Habib Luthfi: “Anu Yik (Habib), setiap orang dapat rizkinya berbeda-beda,” ucapnya.

Sontak perkataan Kiai Bajuri itu membuat Habib Luthfi kaget, “Orang tertusuk paku kok dibilang rizki?”

“Tapi tidak usah khawatir Yik, nanti ada guru yang lebih hebat dari saya. Beliau adalah guru saya, namanya Mbah Malik.Tapi jangan kaget ya Yik, beliau orangnya berambut gondrong,” kata Kiai Bajuri.

Setelah wafatnya Kiai Bajuri, Habib Luthfi langsung menuju ke tempat Mbah Malik di Kedung Paruk, Purwokerto. Sesampainya di sana Habib Luthfi disambut Mbah Malik.

Dengan tersenyum beliau bertanya kepada Habib Luthfi, “Bagaimana Yik dengan Kiai Bajuri?”

Lagi-lagi Habib Luthfi dibuat kaget, dalam hati berkata, “Kedua orang ini kapan ketemunya, dan kapan ngobrolnya?”

Selama di pesantren Kedung Paruk, Habib Luthfi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkhidmah kepada gurunya, Mbah Malik. Bahkan ia bercerita ketika dulu sewaktu mondok di Kedung Paruk, ia tidak sempat mengkhatamkan kitab al-Ajurumiyah dan Safinah. 

Akan tetapi ketika menjelang Mbah Malik wafat, Habib Luthfilah yang diamanati oleh sang guru untuk meneruskan kemursyidannya.

Penerus Mbah Malik

Mbah Malik adalah guru besar Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan As-Syadziliyah Indonesia. Silsilah kemursyidan diserahkan kepada murid kesayangan beliau (Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya dan cucu beliau Abdul Qadir bin ilyas Noor).

Kalau kepada sang cucu hanya kemursyidan thariqah An-Naqsabandiyah al-Khalidiyahnya saja, namun kemursyidan kedua thariqah besar tersebut (Naqsyabandi dan Syadzili) diserahkan kepada muridnya yakni Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Hasyim bin Yahya.

Mbah Malik menurunkan seorang anak laki-laki dari Nyai Siti Warsiti yang lebih dikenal Mbah Johar (putri syaikh Abubakar bin H Yahya, kaliwedi, guru mbah Malik) yakni Ahmad Busyairi, namun meninggall dalam usia 36 tahun (1953). Sedang dari mBah Mrenek Maos Cilacap, tidak dikaruniai anak. Dari perkawainannya dengan Nyai Siti Hasanah putri H Abdul Khalil (Kedung Paruk), ia menurunkan seorang putri yaitu Nyai Khairiyah. Sang putri tunggal ini Nyai Khairiyah menurunkan sembilan anak. Dengan Kyai Anshor Sokaraja, satu orang putri yaitu Hj Siti Fauziyah dan dariKyai Ilyas Noor, delapan anak tiga laki-laki dan lima perempuan yaitu Hj Siti Faridah, KH Abdul Qadir, Siti Fatimah, Siti Rogayah, KH Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor , Hj Isti Rochati dan Nurul Mu’minah.

Tiga penerus Mbah Malik yang meneruskan amaliah Mbah Malik masing-masing yakni pertama, KH Abdul Qadir bin KH Ilyas Noor Subtil Malik lahir di Kedung Paruk 11 Oktober 1942 wafat pada hari Selasa 19 Maret 2002 (5 Muharam 1423 H dalamusia 60 tahun) dan dimakamkan dibelakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-uf-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 22 tahun (1980-2002).

Penerus kedua yakni yakni KH Sa’id bin KH Ilyas Noor Subtil Malik lahir diKedung Paruk pada tanggal 15 April 1951 wafat pada hari kamis tanggal 3 Juli 2004 dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-uf-Dien. Ia memangku kemursyidan selama 2 tahun (2002-2004). Selepas itu kemursyidan thariqah dari tahun 2004 sampai sekarang dipegang oleh KH Muhammad bin KH Ilyas Noor Subtil Malik.

Mbah Malik terbiasa melakukan salat sunah Qobliyah Zuhur. Setelah itu, berselawat berjemaah dari pukul 12.00 sampai 13.30. Baru kemudian salat Zuhur berjemaah pada pukul 13.30.

Ada salah satu kisah yang terjadi di masa itu. Setelah salat sunah Qobliyah, Mbah Malik seperti biasa berselawat. Namun, sampai pukul 13.30, selawat tak selesai. Mbah Malik tak bergerak dan hanya tasbihnya yang bergerak.

Ditunggu lama, Mbah Malik tak kunjung bangun dari duduknya. Sampai waktu Zuhur hampir habis. Akhirnya salat berjemaah Zuhur diimami oleh Kiai Isa, adik ipar Mbah Malik.

Sementara, Mbah Malik masih duduk. Duduknya Mbah Malik itu tak ada yang berani membangunkan. Mbah Malik terus duduk tidak hanya dalam waktu jam, tapi bertahun tahun, Mbah Malik dalam kondisi seperti itu sampai tiga tahun lamanya. Artinya, selama tiga tahun pula, Mbah Malik tidak makan dan minum.


Sampai kemudian setelah tiga tahun, Mbah Malik bangun pada pukul 13.30. Saat itu pula Mbah Malik meminta agar segera iqomat. Mbah Malik merasa bahwa duduk hanya sebentar, padahal sudah tiga tahun lamanya Mbah Malik duduk berselawat. Satu persatu orang yang dicari Mbah 

Malik pun sebagian sudah meninggal dunia.

Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) pada usia 99 tahun dan dimakamkan di belakang masjid Bahaaul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien, Kedung Paruk Purwokerto Banyumas dan memangku kemursyidan selama 68 tahun (1912-1980). (*)Aji Setiawan, mantan wartawan alKisah


Daftar Pustaka

1. Aji Setiawan. Syaikh Abdul Malik Khatam Al Quran Setiap Hari. Majalah al Kisah Edisi 13 Tahun 2007

2. Kholil Rokhman. Mbah Malik Purwokerto Duduk Berselawat Selama Tiga Tahun, Kisah Guru Habib Luthfi Pekalongan. Serayunews,12 Apr 2021

3. Aji Setiawan.https://jateng.nu.or.id › tokoh › Mbah Abdul Malik Sesepuh Mursyid Naqsabandiyah Khalidiyah Tanah Jawa .21 Jan 2022

4. sAji Setiawan. https://story.cilacap.info › Syaikh Abdul Malik al Banyumasi Sesepuh Mursyid Naqsabandiyah Khalidiyah ...19 Jun 2020 

5. Aji Setiawan.https://jateng.islampers.com › Biografi Syekh Abdul Malik al Banyumasi - Islampers Jateng. 19 Jul 2022 

6. Ketika Mbah Malik Naik Haji (Sebuah Kisah Perjalanan). Suara Purwokerto. Kamis, 24 Maret 2022.

7. Romandhon MK . Kisah Habib Luthfi Meneruskan Kemursyidan Mbah Malik Purwokerto. Hidayatuna. June 4, 2022

Tidak ada komentar: