Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

KH Hasan Gipo Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama Pertama

 


Suarabamega25.com  -  Hasan Basri atau yang kerap disapa dengan panggilan H. Hasan Gipo dilahirkan di Kampung Sawahan pada tahun 1869, tepatnya di Jalan Ampel Masjid, yang kini menjadi Jalan Kalimas Udik. Beliau merupakan keturunan keluarga besar dari “Marga Gipo” sehingga nama Gipo diletakkan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari Sagipodin dari bahasa Arab Saqifuddin, Saqaf (pelindung) dan al-dien (agama).

Jika diruntut silsilahmya beliau tersebut, H. Hasan Gipo masih mempunyai hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansur karena KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) masih keturunan dari Abdul Latief Gipo yang merupakan salah seorang dari marga Gipo tersebut. Dari beberapa keterangan tersebut, bisa ditarik pemahaman juga bahwa keturunan Sagipodin mempunyai akar kuat di Kalangan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah.

Apabila ditelusuri melalui jalur silsilah keluarga, didapati bahwasannya beliau merupakan generasi kelima dari dinasti Gipo. Ayahnya bernama H. Marzuki, kakeknya H. Alwi, buyutnya bernama H. Turmudzi yang memperistri Darsiyah. Canggahnya Abdul Latief Sagipuddin merupakan awal dinasti Gipo yang memperistri Tasirah dan memiliki 12 anak. Dari silsilah itulah kita jumpai seorang Hasan Basri di Ampel yang berpusat di kota Surabaya dan lebih akrab dipanggil dengan H. Hasan Gipo.


Lahir dari lingkungan keluarga santri yang kaya, bertempat tinggal di kawasan perdagangan elite di Ngampel yang bersebelahan dengan pusat perdagangan di Pabean, sebuah pelabuhan sungai yang berada di tengah kota Surabaya yang berdempetan dengan Jembatan Merah.

Dinasti Gipo ini didirikan oleh Abdul Latif Sagipoddin (Tsaqifuddin) yang disingkat dengan Gipo. Mereka ini adalah masih santri bahkan kerabat dari Sunan Ampel, karena itu keislamannya sangat mendalam. Sebagai pemuda yang hidup dikawasan bisnis yang berkembang sejak zaman Majapahit itu, Sagipoddin memiliki etos kewiraswastaan yang tinggi. Prosesi bisnisnya ditekuni mulai dari pedagang beras eceran, dengan cara itu ia memiliki kepandaian tersendiri dalam menaksir kualitas beras. Keahliannya itu semakin hari semakin tenar, sehingga para pedagang dan terutama importir beras banyak yang menggunakan jasanya sebagai konsultan kualitas beras.

Dengan profesinya itu ia mulai mendapat banyak rekanan bisnis dengan modal keahlian bukan uang. Ketika usinya sudah menjelang dewasa, ia diambil menantu oleh seorang saudagar Cina. Dengan modal besar dari mertuanya itulah ia bisa melakukan impor beras sendiri dari Siam, sehingga keuntungannya semakin besar dan semakin kaya.

Perjalanannya ke luar negeri semakin memperbesar rekanan bisnisnya. Beberapa pengusaha dari Pakistan, Arab Persia dan India digandeng, sehingga semakin memperbesar volume ekspornya. Selain itu juga mulai melakukan diversifikasi usaha dengan mengimpor tekstil dari India.  

Karena itu ia menjadi pengusaha besar di kawasan perdagaangan Pabean, sehingga tanah-tanah di situ dikuasai. Tetapi ketika perkembangan bisnisnya terlalu ekspansif, maka akhirnya ia kebobolan juga, karena beras yang diimpor dari Siam itu dipalsu oleh rekanan bisnisnya dari Pakistan ditukar dengan wijen, yang waktu itu harga wijin sangat rendah dibanding harga beras. Selain itu wijen tidak dibutuhkan dlam skala besar. Dengan penipuan itu bisnisnya sempat limbung selama beberapa bulan.

Modal mandek, uang tidak bisa diputar karena tertimbun menjadi wijen yang tidak laku dijual, paling laku satu dua kilo untuk penyedap makanan. Sebagai anak muda yang baru bangkit, sangat terpukul dengan penipuan itu. Namun mertuanya yang pengusaha kawakan itu tidak menyalahkan malah menyabarkan, karena kerugian merupakan risiko setiap bisnis. Ini sebuah cobaan dari Allah yang harus diterima.

Dengan sabar, syukur dan tawakkal serta usaha keras Insyaallah suatu ketika keuntungan akan diperoleh kembali, demikian nasehatnya. Sebagai seorang santri yang taat ia hanya bisa pasrah dan berdoa serta tetap berusaha. Di tengah kelesuan bisnisnya itu tiba-tiba pemerintah Belanda membutuhkan wijen dalam jumlah besar. Tentu saja tidak ada pengusaha yang memiliki dagangan yang aneh itu, setelah dicari kesana kemari akhirnya Belanda tahu bahwa Sagipoddin memiliki segudang wijen. 

Belanda sangat senang dengan ketersediaan wijen yang tak terduga itu, karena itu berani membeli dengan harga mahal. Bak pucuk dicinta ulam tiba, maka minat Belanda itu tidak disia-siakan. Karena wijen itu dulunya dibeli seharga beras, maka Sagipoddin minta sekarang dibeli dengan seharga beras. Belanda yang lagi butuh tidak keberatan dengan harga mahal yang ditentukan itu, lalu dibelilah seluruh wijen Sagipoddin, maka keuntungan yang diperoleh berlipat ganda, sehingga perdaganannya juga semakin besar.  

Keuntungan itu dipergunakan untuk mempercepat ekspansi bisnisnya, dan kawasan perdagangan yang strategis mulai dibelinya, yang kemudian dijadikan pertokoan dan pergudangan. Akhirnya ia juga bisnis persewaan toko, penginapan dan pergudangan. Sebagai seorang santri taat ia banyak pergunakan hartanya untuk sedekah membangun pesantren dan masjid.  

Banyak kiai besar yang diundang ke rumahnya, Sagipoddin sangat senang bila kia yang berkunjung mau menginap di rumahnya, maka pulangnya mereka diberi berbagai macam sumbangan untuk pembangunan sarana pendidikan dan ibadah, sehingga dalam waktu singkat Sagipoddin sangat terkenal di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya.

Walaupun ia bukan ulama tetapi karena masih keturunan ulama, maka ia sangat hormat dan mencintai ulama. Abdul Latif Sagipuddin ini menikah dengan Tasirah mempunyai 12 orang anak, salah satunya bernama H Turmudzi, yang kawin dengan Darsiyah.

Beliau yang terlahir dari kalangan ekonomi mapan, berhasil mengenyam pendidikan ala Belanda, tanpa mengesampingkan pendidikan kepesantrenanya, jiwa-jiwa santri juga mendarah daging di urat nadinya. Terbukti kepemimpinan ekonomi di kawasan bisnis Pabean masih dijabat oleh dinasti Gipo hingga masa jabatan H. Hasan Gipo yang di kemudian hari menjadi Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pertama.

Sebagian besar dari kita saat ditanya, siapa Presiden atau Ketua Tanfidziyah NU Pertama, maka biasanya akan menyebut nama Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Padahal, sebenarnya Ketua Tanfidziyah NU Pertama adalah Guru Mulia KH Hasan Gipo, Surabaya.

Adapun Hadlrotussyaikh Mbah Hasyim Asy’ari berkedudukan sebagai Rois Akbar, pemimpin tertinggi NU. KH. Hasan Gipo adalah Ketua Pelaksana sesuai dengan arahan maupun fatwa Hadlrotussyaikh.

KH. Hasan Gipo adalah seorang saudagar kaya raya yang masih merupakan dzuriyah dari Kanjeng Sunan Ampel. Beliaulah yang mendanai Komite Hijaz hingga bisa menembus jazirah Arab.

Hasan Gipo dibesarkan di komplek Langgar Gipo. Berada di kawasan Kalimas Udik, Surabaya, Jawa Timur. Bangunan tersebut dibangun oleh keluarga Sagipoddin pada sekitar tahun 1700-an dan sudah dilakukan sebanyak 5 kali renovasi.

Sebagaimana diceritakan oleh Moch. Yunus, keluarga Hasan Gipo turunan ke-7 dari Mbah Sagipodin (Mbah Gipo / Abdul Latif), Sagipoddin adalah orang kaya keturuhan Arab. Ia tinggal di kawasan kampung elit Ampel.

"Gipo menjadi tanda nama keluarga, semacam marga. Abdul Latief yang menggagasnya. Keluarga ini juga masih keluarga dengan keluarga Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah di Surabaya," terang Yunus, di Asrama haji pertama (Langgar Gipo) Surabaya, Jawa Timur.

"Nama sebenarnya adalah Abdul Latief. Kenapa berubah jadi Sagipoddin? Karena lebih lekat dengan lidah orang Jawa. Kemudian, nama itu dipendekkan lagi menjadi Gipo," tutur Moch Yunus.

Menurut ceritanya Gipo melahirkan keturunan bernama Hasan Gipo. Generasi keempat yang menjadi Ketua NU pertama. Sayangnya, malah tak banyak dikenal warga NU.

Hasan Gipo tak banyak ditulis dalam sejarah perjuangan bangsa. Baru setelah internet dan dunia maya menggejala, nama Hasan Gipo mulai mewarnai gawai berita. Itu setelah NU menemukan situs makam Hasan Gipo di kompleks pemakaman Ngampel pada tahun 2015 lalu.

Langgar Gipo berdiri di atas lahan sekitar 100 meter persegi, tepatnya di Jalan Kalimas Udik. Dulu, nama jalan ini bernama Jalan Gipo. Entah apa yang diinginkan Pemerintah Kota Surabaya, yang kemudian mengganti namanya jadi Jalan Kalimas Udik.

Lebih dari itu, sejumlah anggota Laskar Macan Ali Surabaya melakukan renovasi Langgar Gipo yang akan difungsikan sebagai langgar kembali.

David panglima Laskar Macan Ali Surabaya mengatakan, langgar tersebut dalam masa renovasi, setelah renovasi ke-6 ini langgar akan difungsikan kembali sebagai mana mestinya langgar yang telah kosong selama kurang lebihnya 35 tahun.

"Kami melakukan renovasi karena keperdulian kami terhadap bangunan bersejarah di Surabaya ini" ujarnya saat dijumpai disela-sela renovasi Langgar.

Beliau pula lah sponsor terbesar dalam hal harta pribadi kepada NU, sehingga atas wasilah harta beliau, kabar berdirinya NU segera tersebar luas hingga ke seantero Tanah Jawa dari ujung paling timur hingga baratnya, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan tak ketinggalan Singapura.

Mendapat kabar berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, mayoritas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Al Muktabaroh di seantero Nusantara segera merapatkan barisan, “bermakmum” di belakang Hadlrotussyaikh.

Sebelumnya, sejarah tentang KH. Hasan Gipo sempat hilang dari peradaban NU. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, namun semua telah kembali sebagaimana mestinya. Pada Agustus 2015, Ketua Ikatan Keturunan Sagipodin (IKSA) Jatim H Wachid Zein serta pihaknya menemukan makam KH. Hasan Gipo setelah melakukan berbagai ikhtiar, termasuk menelusuri keturunannya di Gresik.

Dari beberapa keturunannya juga ditemukan beberapa dokumen penting salah satunya adalah foto mungil berukuran 3×4 yang terpasang pada SK Pengesahan Pemerintah Hindia Belanda, yang dulu bernama bernama Statueten HBNO 1926, lengkap beserta tulisan jabatannya yaitu Ketua Tanfidziyah.

Kiprah di Nahdlatul Ulama (NU)

Penunjukan H. Hasan Gipo sebagai  Ketua Tanfidziyah NU Pertama mendapati perlakuan khusus, seperti halnya terbentuknya NU waktu itu. pasalnya sosok H. Hasan Gipo ini merupakan sosok yang limited edition, dimana beliau menguasai ilmu umum yang didapatinya sewaktu mengenyam pendidikan di Belanda dan juga beliau dikenal sebagai satu-satunya orang dari komunitas KH. Wahab Hasbullah yang cakap dan terampil dalam membaca dan menulis tulisan latin. Beliau pun akrab dengan masyarakat di sekelilingnya.

Pemilihan H. Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah mulanya berawal dari musyawarah kecil pembentuk pengurus NU yang hanya melibatkan sebagian tokoh-tokoh dari daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, dan daerah sekitar semuanya dari Surabaya. Dalam forum musyawarah itulah disebutkan nama H. Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah yang pertama.

Meskipun pada masa itu, Nahdlatul Ulama masih berbentuk embrio dimana tokoh utama yang menjadi Rois Syuriah NU adalah KH. Said dari Paneleh, Surabaya. KH. Hasyim Asya’ri dipilih sebagai Rois Akbar Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dengan KH. Wahab Hasbullah sebagai Katib ‘Am. H. Hasan Gipo menjabat kurang lebih 3 tahun dan pada muktamar ke-3 di Semarang KH. Noor dari Sawah Pulo, Surabaya menggantikanya.

Sebagai ketua Tanfidziyah, beliau bersama KH. Hasyim Asya’ri, NU menunjukan diri sebagai gerakan sosial yang lebih dari sekedar usaha mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis, terutama yang tinggal di Surabaya pada tahun 1910-an yang didalangi oleh pedagang Minangkabau bernama Faqih Hasyim.

Hasan Gipo selain menjadi aktivis pergerakan juga menjadi seorang pedagang yang tinggal di kawasan elite Surabaya, dan hal itu sangat membantu pergerakan Kiai Wahab dan beliau yang selalu mengantar Kiai Wahab menemui aktivis pergerakan di Surabaya.Di situlah Kiai Wahab dan Hasan Gipo berkenalan dengan para murid HOS Cokroaminoto seperti Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti dan masih banyak lagi. Di situlah para aktivis pergerakan nasional baik dari kalangan nasionais dan santri bertemu merencanakan kemerdekaan Indonesia.  

H. Hasan Gipo wafat pada tahun 1934, jenazah beliau dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel dalam pemakaman khusus keluarga Sagipoddin.(***) Aji Setiawan, penulis adalah alumni Universitas Islam Indonesia Ýogyakarta lulus th 2002

Tidak ada komentar: