Manaqib Habib Ali bin Ahmad Al Aidin, Pulau Panggang Kepulauan Seribu
Suarabamega25.com - Jakarta Utara Haul ke 133 Habib Ali bin Ahmad bin Zen Al-Aidid, yang juga dikenal sebagai Wali Keramat Habib Panggang pada tahun 1445 H /2024 akan kembali digelar pada bulan Syawal.
Ia adalah ulama dan mubalig asal Hadramaut yang pada abad ke-18 bertandang ke nusantara untuk berdakwah. Ia wafat pada 20 Zulkaidah 1312 H/1892 M.
Sejak sehari sebelum haul digelar, biasanya ratusan jemaah sudah mulai berdatangan dari
berbagai penjuru. Dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Banten, dan daerahdaerah lain. Pulau Panggang merupakan sebuah kelurahan tersendiri, masuk dalam
Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta.
Peringatan haul biasanya digelar pada Ahad pagi digelar di musala kompleks makam. Sejak
pukul delapan, jemaah sudah memadati kompleks makam – luber sampai ke pelataran.
Ketika jemaah dan para tamu kehormatan hendak memasuki kompleks makam, Habib Zen
bin Hasan bin Hasyim Al-Aidid, cicit almarhum, memimpin salam ‘ibadallah, salah satu syair
tawasul manakib Syekh Abdul Qadir Jailani. Dilanjutkan pembacaan zikir, tahlil, dan selawat.
Setelah itu segenap jemaah membaca surah Ya-Sin, Acara ziarah itu ditutup dengan doa,
dipandu oleh Habib Zen bin Hasan bin Hasyim Al-Aidid, sang cicit.
Usai berziarah, para habib dan segenap jemaah kembali ke aula makam untuk mengikuti
tausiah dari para ulama serta pembacaan riwayat hidup (manakib) almarhum.
Rawan Perampokan
Pada abad ke-18, pertama kali Habib Ali ke Nusantara bersama empat kawannya: Habib
Abdullah bin Muhsin Alatas, Kramat Empang Bogor; Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor,
Bondowoso, Surabaya; Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Ampel, Surabaya; dan Habib
Salim Alatas, Malaysia. Habib Ali ke Batavia, sementara keempat kawannya masing-masing
menyebar ke kota-kota dan negeri di atas.
Di Batavia, Habib Ali bermukim di Kebon Jeruk dan menikah dengan syarifah setempat,
Zakhroh binti Syarif Muhsin Al-Habsyi. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai seorang
putra, Hasyim bin Ali Aidid. Di sana, ia berdakwah kurang lebih selama dua tahun. Suatu hari
ia mendengar kabar, di sebelah utara Jakarta ada sebuah pulau yang rawan perampokan dan
jauh dari dakwah Islam, Pulau Panggang.
Beberapa waktu kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut. Ketika Habib
Ali hendak menyeberang, ternyata tak ada perahu. Maka ia pun bertafakur dan berdoa
kepada Allah SWT. Seperti halnya para ulama besar lainnya, Habib Ali juga memiliki
karamah. Tak lama kemudian muncullah seribu lumba-lumba menghampirinya. Ia lalu
menggelar sajadah di atas punggung lumba-lumba tersebut, berlayar menuju Pulau
Panggang. Kemudian ia bermukim di sana, mengajar, dan berdakwah.
Sosoknya sangat sederhana, cinta kebersamaan, mencintai fakir miskin dan anak yatim. Bisa
dimaklumi jika dakwahnya mudah diterima oleh warga pulau dan sekitarnya. Dengan
pendekatan tasawuf, terutama yang ia petik dari kitab Ihya Ulumuddin, karya Imam
Ghazali, Habib Ali mengajar dan berdakwah ke segenap pelosok pulau. Bahkan belakangan.
Ia memperluas jaringan dakwah sampai ke Palembang, Singapura, dan Malaka.
Karamah lainnya, suatu malam, usai berdakwah di Kramat Luar Batang, Penjaringan,
Jakarta Utara, ia pulang ke Pulau Panggang. Di tengah laut, perahunya diadang gerombolan
perompak. Tapi, dengan tenang Habib Ali melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut.
Ajaib, kayu itu berubah menjadi karang, dan perahu-perahu perompak itu tersangkut di
karang. Maka, berkat pertolongan Allah SWT itu, Habib Ali dan rombongan selamat sampai
di rumahnya di Pulau Panggang.
Suatu hari, warga Pulau Panggang diangkut ke Batavia dengan sebuah kapal Belanda, konon
untuk dieksekusi. Beberapa perahu kecil berisi penduduk ditarik dengan rantai besi ke arah
kapal Belanda yang membuang sauh jauh dari pantai. Mendengar kabar itu, Habib Ali
menangis, lantas berdoa, ”Ya Allah, selamatkanlah seluruh penduduk Pulau Panggang.”
Doanya didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT. Rantai besi yang digunakan untuk menarik
perahu berisi penduduk itu tiba-tiba putus, sehingga Belanda urung membawa penduduk ke Batavia.
Hingga akhir hayatnya, Habib Ali mengajar dan berdakwah di Pulau Panggang.
Suatu malam, ia mendapat isyarat bahwa sebentar lagi ia akan wafat. Ketika itu sebenarnya
ia ingin pulang ke Palembang, namun urung. Dan kepada para santrinya ia menyatakan,
“Saya tidak jadi ke Palembang.” Benar apa yang ia katakan: keesokan harinya, 20 Zulkaidah
1312 H/1892 M, ia wafat, dan dimakamkan di sebuah kawasan di ujung timur Pulau
Panggang.
Sesungguhnya, jenazah almarhum akan dibawa ke Batavia untuk dimakamkan di sana.
Namun, ketika jenazah sudah berada di atas perahu yang sudah berlayar beberapa saat, tiba
-tiba tiang layar perahu patah dan perahu terbawa arus kembali ke Pulau Panggang.
Hal ini terjadi berturut-turut sampai tiga kali. Akhirnya, penduduk kampung memaknani
peristiwa itu sebagai kehendak sang Habib untuk dimakamkan di pulau tersebut.
Habib Ali bin Ahmad bin Zen Al-Aidid adalah seorang ulama besar yang langka, yang berani
merintis dakwah di kawasan terpencil, dan berhasil. Haulnya di peringatan ke 133 biasanyadigelar pada bulan Syawal .(Aji)
Tidak ada komentar: